Mohon tunggu...
Eka Dalanta
Eka Dalanta Mohon Tunggu... Freelancer - Book Eater

Menyukai seni, keindahan, dan kata-kata. Suka berjalan tergesa dan pemurah dalam memberi senyum.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Trunyan, Makam tanpa Kubur

18 Oktober 2010   08:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:20 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Traveling- it leaves your speechless, then turns you in to a storyteller. -Ibn Batutta- Hari itu, suatu hari di hidup saya, berada di sini. Di sebuah negeri yang kabarnya adalah Negeri Dewata. Bali tentu saja. Negeri ini sudah tersohor sebagai tujuan wisata terbesar di Indonesia. Berada di tempat baru selalu menimbulkan pengalaman-pengalaman baru. Pengalaman pertama perjalanan tersebut membuat kita kehabisan kata-kata. Takjub, terkagum, dan tentu saja puas. Apalagi saat berada di sini. Di sebuah tempat yang kaya dengan segala keindahan. Cerita perjalanan memang selalu menarik untuk diceritakan. Barang dapat habis dijual-beli. Tapi pengalaman, ho...ho... tak akan pernah habis untuk diingat dan diceritakan. Dan sekarang, saatnya saya memainkan peran sebagai tukang cerita. Banyak tempat menarik di Bali. Dua lembar tulisan ini tidak akan cukup untuk mengulasnya. Saya tahu itu. Terlalu banyak pula tempat popular yang telah biasa di bahas. Pantai Sanur misalnya. Pantai ini terkenal dengan pemandangan matahari terbitnya yang luar biasa bagus. Atau Nusa Dua. Atau Pantai Kuta yang terkenal dengan ombak besarnya, hiburan malamnya, tempat belanjanya, dan penginapan murahnya di Jalan Poppies. Walau tak melewatkannya, itu bukan fokus cerita kita kali ini kawan! Seorang teman asli Bali, Kunthayuni merekomendasikan tujuan kali ini, yang katanya juga belum pernah ia kunjungi. Tapi ia menjamin, perjalanan ke sana akan sangat menarik. Lengkap, pemandangan pegunungan yang indah, danau, budaya, plus sedikit kesan magis. Namanya Desa Trunyan. Hem... sepertinya cukup menarik. Lalu suara rindik, musik khas Bali pun mengalun lembut merdu di mobil yang kami tumpangi. Kami sedang menuju Desa Trunyan. Pemilik mobil yang kami tumpangi adalah Hendra, seorang kawan baru di Bali, teman kuliah adik Kuntha. Pertemanan yang rumit bukan? Berenam kami duduk manis di Kijang yang meluncur mulus di jalanan berliku. Tentang bilangan itu juga menurutku cukup magis. Enam, angka genap. Memang harus selalu begitu. Setidaknya begitulah saran ibu Kuntha. Ada larangan tak tertulis jika ingin berpergian ke tempat-tempat seperti Desa Trunyan atau tempat-tempat lain di Bali yang masih kental dengan nilai-nilai budaya. "Jangan berjumlah ganjil, nanti harus ada yang ngenepi," kata Kuntha. Agak bergidik juga mendengar penuturannya itu. Dan sepertinya filosofi ganjil-genap ini masih sangat kental di Bali. Sedikit tidak realitis. Toh, budaya, agama, dan kepercayaan tak selalu harus sejalan dengan logika. Ya sudahlah, tak perlu diperdebatkan, sebagai orang baru, saya ikut saja. Seperti pepatah bilang, di mana bumi diinjak di situ langit di junjung. Perjalanan dari Sanur menuju Desa Trunyan cukup jauh. Karena tak satupun di antara kami yang sudah pernah ke sana, sebuah peta lokal Bali sudah terentang, siap menjadi acuan . Kalau-kalau kami butuh petunjuk jalan mana yang harus kami lalui. Setelah melewati beberapa desa dan kabupaten, akhirnya kami tiba di Desa Trunyan. Desa ini terletak di sebelah timur bibir Danau Batur, di sebelah barat Gunung Abang, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan orang harus menyeberang Danau Batur selama 30 menit dengan perahu bermotor. Kalaupun ingin melewati jalan darat, harus melewati jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang. Dan tentu saja, cukup jauh. Menumpang sebuah perahu bermotor -ingat walaupun banyak penawaran dengan harga murah, sebaiknya naikilah perahu dengan membeli tiketnya di loket resmi, lebih aman- kami menyeberangi Danau Batur. Danau ini luasnya sekitar 80 Km persegi dengan kedalaman sekitar 15 meter -ini saya ketahui dari struk tiket yang kami beli di loket. Angin pegunungan dan percikan air dari samping perahu bergantian menyapa. 30 menit di atas perahu, pintu gerbang pemakaman desa sudah terlihat. Sebuah gapura berwarna merah bata. Makam tersebut adalah tujuan perjalanan wisata kita kali ini. Udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17º Celcius. Desa Trunyan ini merupakan sebuah desa kuno, desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Ada dua versi kepercayaan penduduk desa ini tentang asal-usulnya. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan. Mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun' sebagai dewi dari langit ke bumi Trunyan. Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, sejenis pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perpaduan kata "taru" dan "menyan" berkembang kata Trunyan untuk menyebut nama desa mereka. Pohon taru menyan ini adalah pohon berbau harum yang tumbuh di desa itu. Tinggi dan besar dengan akar-akar tunggang besar yang telah muncul ke permukaan. Berada di bawahnya seperti mencium aroma bau cendana. Agak mirip memang. Bau-bauan yang dikeluarkan pohon inilah yang membuat awet dan menghilangkan bau mayat yang diletakkan begitu saja di bawah pohon tersebut. Begitu saja maksudnya adalah mayat-mayat itu diletakkan di bawah pohon tanpa perlu dikubur dengan menggali tanah dalam-dalam. Itulah pemakaman desa Trunyan, sebuah makam tanpa kubur. Mayat-mayat diletakkan dengan muka terbuka dan hanya dibungkus kain putih dan "ancak saji". Upacara pemakaman ini dikenal sebagai upacara mepasah. Kultur inilah yang menjadikan desa ini menarik dijadikan sebagai objek wisata. Memasuki pintu gerbang makam, barisan tengkorak kepala yang telah lama dan lumutan berjejer rapi di atas tangga batu. Puluhan. Sebagiannya tak tertata di sana. Tulang-tulang juga banyak berserakan di tanah. Agak menyeramkan memang. Tapi saya ingat kembali pesan Kuntha, "Walau merasa sedikit jijik dan bergidik, jangan meludah atau mengeluh!" Ah... lagi-lagi, sebagai orang baru, saya harus ikut saja. Mungkin inilah yang disebut sebagai kearifan lokal. Di sebelah kiri pintu gerbang makam, tak jauh dari tempat saya berdiri, sebuah makam yang dikelilingi pagar bambu. Masih baru kata Made, penduduk lokal yang menawarkan diri sebagai pemandu. Mayat itu baru berumur beberapa bulan. Bekal sesaji seperti sandal, sendok, piring, penganan yang telah mengering masih ada di atas makam. Mayat tersebut telah mengering dan menghitam. Sebagian tulang tengkorak sudah terlihat. Lalu Made bercerita banyak. Bapak 35 tahunan ini menceritakan perbedaan antara tulang tengkorak laki-laki dan perempuan. "Yang ini perempuan," katanya sembari menunjuk salah satu tulang tengkorak yang sudah lumutan. "Tulang tengkorak perempuan pada bagian ubun-ubun lebih datar karena terbiasa menjunjung hasil pertanian," jelas Made. Ia juga menceritakan tentang cara pemakaman orang Trunyan. Ternyata, tidak semua penduduk dimakamkan di makam ini. Wah... lalu bagaimana? Ada dua cara. Pertama meletakkan jenazah di atas tanah di bawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan, dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal dengan kematian yang wajar. Yang kedua adalah dikubur/dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh -seperti cacar dan lepra- dan orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri. Tempat pemakamannya juga berbeda. Pemakaman yang kini kami kunjungi adalah Sema Wayah, diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah. Ada lagi Sema Bantas, diperuntukkan untuk penguburan, dan Sema Nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan. Cukup unik bukan? Akhirnya nanti, menyebut Trunyan, akan selalu membawa ingatan pada sebuah desa kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur, di kaki Bukit Abang. Terbayang pula suasana kehidupan masyarakat Bali tempo dulu dengan tradisi yang masih kuat di desa itu. Hanya saja, sebagai saran, bila ke Trunyan, sediakanlah uang receh. Akan banyak sumbangan yang perlu Anda berikan. Mulai dari biaya parkir, pengemis, pedagang akesoris yang sedikit memaksa, bonus ekstra untuk guide lokal yang berinisiatif menjadi guide tanpa diminta, bonus untuk navigator cilik, serta sumbangan di makam. Jangan pula terkecoh dengan nominal uang yang mereka letakkan di kotak sumbangan. Akan selalu ada nominal besar sehingga Anda sungkan menyumbang sedikit. Modus yang cukup cerdas bukan? So... nikmati saja perjalanannya, sumbanglah seberapa Anda bisa, yang penting ikhlas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun