Mohon tunggu...
Eka Nugraha
Eka Nugraha Mohon Tunggu... -

Blogger dan jurnalis lepas, selain di blog pribadi ekajazzlover.wordpress.com juga menjadi penulis kontributor di ayongeblog.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terima Kasih Pembajak!

21 Maret 2010   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:17 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98744" align="alignleft" width="300" caption="piracy from ferdy bambule"][/caption] Saya tahu bajakan sangat mudah tersebar di Indonesia. Saya juga tahu bahwa Indonesia punya Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Undang-Undang ini menyatakan bahwa "hak cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Eksklusif, artinya istimewa, spesial dan hanya orang yang berkepentingan langsung yang bisa memiliki atau menerimanya. Sayangnya itu belum berlaku di sini. Kalau mau dihitung-hitung sepanjang hidup saya, cukup banyak saya bersentuhan dengan barang-barang bajakan, dan entah kenapa itu baru saja saya sadari baru-baru ini. Maksudnya sadar dalam artian tahu itu salah, menyalahi aturan, melanggar hak cipta dan seterusnya. Sebelumnya saya memang tahu, namun selama itu pula saya merasa biasa saja, karena buat saya memang menguntungkan. Saya menonton film "The Hurt Locker" sekitar awal tahun lalu, ketika film tersebut belum menjadi pembicaraan banyak orang karena jadi "Best Picture" di Oscar. Saya tonton film itu jauh sebelum menarik perhatian karena kiprahnya di berbagai festival sebelum akhirnya hasil gemilang di ajang Oscar. Saya tonton film itu hasil bajakan, saya temukan di warnet lalu saya copy dan tonton. Kecintaan saya terhadap musik jazz salah satunya diawali ketika seorang teman mengenalkan pada saya sosok Jamie Cullum, lewat album "Catching Tales" saya mendengarkan dan akhirnya menikmati musik jazz. Saya masih ingat betul lagu yang pertama saya dengarkan adalah ‘What A Difference A Day Made". Teman saya itu mendapatkannya lewat bajakan, hasil download di internet. Yang ini mungkin paling ironis, sewaktu saya masih mahasiswa baru saya mulai membeli buku-buku untuk literatur perkuliahan, ada beberapa buku "wajib" bagi mahasiswa hukum yang berjudul "Mengenal Hukum" karya Sudikno Mertokusumo dan "Ilmu Hukum" karya Satjipto Rahardjo. Kedua buku tersebut adalah buku literatur untuk mata kuliah "Pengantar Ilmu Hukum", kedua buku itu adalah buku bajakan. Jadi saya belajar hukum dari buku-buku bajakan. Ironis bukan? Saya memang tidak merasa bersalah, itu saya akui. Kenapa? Kenyataannya buku bajakan jauh lebih murah ketimbang yang asli. Saya butuh buku, untuk belajar. Memang saya tidak baca sampai habis tapi buku-buku itu sangat membantu saya selama kuliah, dan pembajak membantu saya untuk mendapatkan buku-buku murah. Sama juga soal buku dan film, saya yakin bukan cuma saya yang merasakan bahwa kita sebagai penikmat musik dan film sering (atau bahkan selalu) merasa diuntungkan dengan kehadiran pembajak, bayangkan harga cd musik dan vcd original cukup mahal untuk ukuran orang seperti saya yang belum punya kerja tetap. Beberapa waktu lalu saya baru tahu kalau harga album "Joy Joy Joy" dari grup JavaJazz-nya Indra Lesmana Rp.100.000 buset! Intinya, dalam pandangan saya bajakan yang awalnya menguntungkan bagi mereka yang kondisi finansial kurang kini mulai meluas dampaknya, orang mendapatkan buku, musik dan film dengan cara bajakan karena kemudahan, tipe orangnya pun bisa jadi ada yang mampu namun faktor kemudahan maka mereka pun menikmati karya-karya bajakan. Dan bajakan membantu orang-orang tersebut (termasuk saya) menikmati buku dan film yang langka kalau dicari originalnya serta musik yang bagus tapi segmented. Khusus untuk film, ada sedikit apologi karena bagi saya orang-orang yang tinggal di daerah sering kehilangan kesempatan untuk menonton film-film bermutu, yang saya pernah saya baca di majalah kopi film harus berpindah dari bioskop-bioskop di seluruh Indonesia, itulah sebabnya kenapa Inglorius Basterds baru tayang di Surabaya (padahal itu film lama dan dvdnya sudah rilis), saya sendiri tidak yakin film Quentin Tarantino akan tayang di kota Malang, karena kebiasaan bioskop Malang menayangkan film-film Indonesia bergenre horor yang sayang mutunya biasa saja (Ironis bagian pertama). Harga cd original setahu saya Rp.50.000 ke atas jadi sulit buat mereka yang uangnya pas-pasan. Tapi pada akhirnya masyarakat bisa mengenal musik yang tadinya segmented lewat bajakan, seperti jazz, blues dan musik-musik indie yang karyanya pantas kita apresiasi (ironis bagian kedua) Soal buku, apa lagi. Sedikit cerita saja, saya pernah melakukan penelitian semasa kuliah dan saya menemukan beberapa fakta yang menurut saya menarik tentang buku dan bajakannya : 1.Untuk pembaca muda, khususnya mahasiswa kalau beli buku kuliah mereka gak masalah dengan bajakan tapi kalau novel mereka akan bela-belain beli yang asli (ironis bagian ketiga). 2.Saya dan rekan peneliti (cie elah) sewaktu wawancara dengan salah satu pihak penerbit menemukan fakta yang cukup menarik, bahwa menurut beliau dibanding lagu, pembajakan buku masih kurang gencar pemberantasannya (ironis bagian keempat). 3.Saat wawancara dengan pihak kepolisian, saya dan rekan saya mendapat jawaban bahwa tindak pidana pembajakan merupakan delik aduan. Artinya kepolisian bisa bertindak ketika ada aduan, hal ini berbeda denga tindak pidana narkoba yang bisa saja dilakukan penggerebekan di TKP (ironis bagian kelima). Mestinya Bagaimana ? Ketika pembajakan sudah begitu luas, memang ada benarnya ketika Pandji Pragiwaksono bertindak melawan pembajakan, bukan memberantas pembajakan. Itu pula yang dilakukannya lewat albumnya, dengan cara memberikan nilai lebih di albumnya, "nilai" atau mungkin "bonus" yang tidak bisa didapatkan di album bajakan, lebih lengkapnya bisa dibaca di e-booknya "Menghargai Gratisan". Inti dari betapa "senangnya" kita dengan karya bajakan adalah karena kondisi ekonomi kita yang krisis, sementara harga barang-barang yang saya sebutkan di atas (buku, album musik, vcd atau dvd film original) mahal, ini tentunya berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat kita. Kalau memang tidak bisa semuanya, setidaknya buku dulu yang harganya bisa turun. Buku adalah sumber ilmu, ketika buku menjadi murah orang akan rajin membaca, ketika rajin baca bertambah ilmu dan akhirnya bertambah pintar, maka mereka akan semakin tahu dan sadar membajak atau menikmati karya bajakan adalah tindakan yang salah. Naif ya? Mungkin, tapi saya rasa tidak ada salahnya berharap. Maka sampai saat itu tiba, dimana kecerdasan dan kesadaran masyarakat kita serta kondisi ekonomi negeri sudah lebih baik (atau setidaknya salah satunya) mungkin kita masih harus berkata : Terima Kasih Pembajak! Ironis...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun