Mohon tunggu...
Eka Nugraha
Eka Nugraha Mohon Tunggu... -

Blogger dan jurnalis lepas, selain di blog pribadi ekajazzlover.wordpress.com juga menjadi penulis kontributor di ayongeblog.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Musik Religi dan Produktivitas

24 Maret 2010   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada hal yang menurut saya menggelitik kalo menyimak produktivitas musisi Indonesia, khususnya mereka yang berada di bawah naungan label mayor dalam hal produktivitas album atau setidaknya single. Saya pernah mencoba sok-sokan menyindir (sebagai penikmat musik, bukan kritikus) di status facebook bahwa musisi kita itu sangat produktif. Dalam setahun mereka bisa merilis 2 album. Yap album komersil dan album religi. Album komersil ya album seperti biasa, dengan lagu-lagu yang bertema cinta melulu kemudian dirilis keluar single pertama, kedua, ketiga dan seterusnya plus promo "download RBT-nya di xxxx" lalu tampillah musisi-musisi itu di berbagai acara musik. Bagaimana dengan album religi? Sepanjang yang saya tahu sebenarnya polanya hampir sama, kalau tidak rilis album, minimal single. Ujung-ujungnya juga RBT dan tampil di acara musik. Bedanya album religi ini dirilis setiap bulan puasa, promo selama bulan puasa. Kemudian setelah bulan puasa hilang gaungnya seolah tak berbekas. Kecenderungan latah musisi kita ternyata tidak hanya pada lirik cinta-cintaan dan musik bernuansa melayu, namun juga merambah pada soal membuat album atau single religi. Pertanyaannya, haruskah musisi kita membuat album religi? Kalau iya, apa tujuannya? Ya saya rasa pertanyaan tentang tujuan itu mungkin harus ditanyakan, kenapa? Karena saya merasa gaung dakwah lewat musik dan nuansa religi musisi kita, lengkap dengan kostum panggungnya hanya ada selama sebulan, selama bulan ramadhan. Maka yang terjadi adalah gaung retorika semata. Musik religi dan dakwah itu hanya untuk sebulan saja, ramai-ramai televisi memunculkan lagu-lagu berjudul atau berlirik eksplisit tentang agama. Tidakkah ini kemudian menjadi kreativitas semu? Memang kreatif, memang produktif namun terasa semu karena kelatahan musik religi yang terjadi selama sebulan itu bisa membuat kita ragu. Atas nama apa mereka membuat album religi? Idealism untuk menyampaikan pesan-pesan religi? Atau sekedar menambah pundi-pundi uang? Kalau dikembalikan pada pemahaman awal, religi atau agama punya nilai yang luas. Tidak hanya soal kewajiban puasa, sholat, mendakwahkan ayat-ayat kitab suci. Religi bisa dimaknai menyampaikan kebaikan, bukankah kebaikan merupakan nilai dasar yang hendak disampaikan dalam religi? Maka ketika Efek Rumah Kaca menyindir gaya hidup konsumerisme lewat "Belanja Terus Sampai Mati" dan mengkritik tingkah remaja dengan free sex yang direkam kamera lewat lagu "Kenakalan Remaja di Era Informatika" band indie ini bisa dikategorikan menyampaikan nilai-nilai religi (kebaikan). Begitu pula ketika band keras macam Seringai menyampaikan tentang tindakan manusia yang memvonis manusia lainnya salah dengan mengatasnamakan agama, saya rasa mereka juga sudah menyampaikan nilai religi (kebaikan) dalam lagu berjudul "Mengadili Persepsi (Bermain Tuhan)". Jangan lupa juga D'Masiv lewat lagu "Jangan Menyerah", terlepas dari temponya yang lambat dan saya mendengarnya malah tidak semangat hehe. Religi saya rasa tidak harus selalu menyampaikan secara eksplisit unsur-unsur agama, justru akan terkesan menggurui dan membosankan kalau disampaikan dengan cara seperti itu. Kecuali kalau musisi Indonesia ada yang konsisten. Dan bicara soal konsisten, tanpa bermaksud membandingkan saya patut angkat topi pada musisi beragama Kristiani yang secara konsisten tanpa menunggu momen Natal mengeluarkan album religi, musisi Islam juga ada misalnya saja Debu. Mereka juga patut diapresiasi konsistensinya dalam bermusik dengan niat dakwah dan pada akhirnya punya tempat tersendiri di dunia musik, ini berbeda dengan para musisi yang latah setiap bulan puasa mengeluarkan album religi. Kalau sedikit jadul, ada Bimbo grup legendaris dengan musik yang menurut saya indah dari segi penyampaian, terutama liriknya (Memang begini seharusnya lirik!), tema-tema yang disampaikan dalam liriknya mengena dan dalam, kita pun bisa mendengarkan dengan nikmat tanpa berkesan didakwahi. Opick pun sebenarnya musisi yang bagus dalam konteks musik religi, sayangnya Opick masih terjebak pada "Merilis album di bulan ramadhan". Sebagai penikmat, pendengar, penonton musik Indonesia saya berharap musisi kita bisa memilih satu di antara dua pilihan berikut dalam konteks musik religi : 1. Kalau serius dalam dakwah lewat musik, sebaiknya konsisten. Kenapa harus menunggu bulan ramadhan untuk menyampaikan nilai-nilai religi? Percuma kalau jadinya cuma latah dan gaungnya sebatas retorika selama sebulan. 2. Kalau tidak berdakwah secara eksplisit lewat musik seperti nomor 1, musik dan lirik yang menyampaikan kebaikan tetap bisa bermuatan nilai religi. Ketimbang industri musik kita disodori lirik-lirik cengeng patah hati. Musik akan benar-benar jadi bahasa universal, kalau industri musik tidak latah dan variatif. Dan saya yakin musisi Indonesia bisa seperti itu. NB : Kredit foto dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun