Bagaimanapun juga mengajar di sekolah, Bimbel, kursus, dan lain-lain tidak bisa dipungkiri bernuansa bisnis. Sementara mengajar sendiri adalah bidang pekerjaan jasa yang banyak mengandung sisi atau esensi keidealisan. Uniknya kontradiksi tersebut berdampingan erat, bisa"diamini" dan diterima masyarakat luas. Walau tetap saja ada yang tidak setuju karena ada hal-hal yang memberatkan untuk bisa diikuti dan diterima. Pengajar Diantara Idealis dan Bisnis Satu hal menarik sebagai pengajar (guru) yang jarang disadari, bahwa jiwa dari profesi guru, yaitu rasa bahagia, bangga dan haru yang tak terhingga, ketika murid, siswa atau orang yang diajar, bisa mengerti, memanfaatkan dan mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan rasa itu tidak ternilai harganya dengan rupiah atau materi lain. Pengajar atau guru akan dipandang jelek (buruk) ketika dia hitung-hitungan soal gaji (bayaran) yang diterimanya sebagai hasil atau imbalan dari sebuah pekerjaan(nya). Namun ketika ilmu pengetahuan yang dibagi, diajarkan oleh sang guru tanpa dihitung-hitung sebanyak apa yang diberikan, jarang diingat atau dihargai sebagai wujud idealisme terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Bagaikan dua sisi mata uang yang berdampingan begitu juga guru terposisi dengan apa adanya dalam bentuk dan intensitas yang berbeda bagi setiap pengajar. Dua sisi itu adalah idealis dan bisnis. Kontradiksi yang unik untuk dijalani. Namun tetap saja kontradiksi, artinya ada saat hati dan pikir berseberangan dengan kenyataan untuk memenuhi kehidupan. Walau ada kenyataan lain yang umum terjadi di kalangan pengajar sendiri terutama dirasakan oleh pengajar di kursus, bimbel, lembaga pendidikan atau sejenisnya, yaitu pengajar yang "pelit" akan ilmu pengetahuan dan (atau) cara mengajar. Kepelitan tersebut terutama dirasakan terhadap sesama pengajar (guru). Hal itu terjadi sebagai imbas ketatnya persaingan dari segi bisnis yang kuat mempengaruhi kondisi tersebut. Kenyataan yang hanya "mengerdilkan" kondisi yang hanya sesaat. Karena sejatinya ilmu pengetahuan tidak akan "mandeg", habis atau hilang oleh hal-hal seperti itu. Ilmu pengetahuan akan tetap dan terus berkembang sejalan dengan perekembangan kehidupan itu sendiri. Sementara bisnis tetap berjalan "sebagaimana mestinya" bisnis, yang akan selalu mencari cara dan strategi demi kemajuannya atau akumulasi modalnya. Dan ketatnya persaingan menjadi bumbu tersendiri yang khas yang menghidupi dunia bisnis. Namun ada juga penyelenggara pendidikan informal yang memang hanya punya tujun bisnis (duit) saja. Pendidikan Murah (Gratis) Pada hakekatnya dan memang idealnya pendidikan itu hak setiap manusia. Pasal 31 UUD melandasinya, bahwa: 1-Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. 2- Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dari pasal tersebut jelas, bahwa pendidikan murah bahkan gratis seharusnya bukan sekedar dijadikan jargon atau hanya jadi isapan jempol belaka bagi pemerintah atau yang punya kepentingan saja. Dan sekolah gratis adalah suatu hal yang mungkin (wajib) bagi rakyat banyak (miskin) sekalipun, yang jumlahnya memang banyak. Namun pasal 31 itu ternyata jauh dari nyata untuk bisa seindah kenyataan. Walau kenyataannya rencana atau program pemerintah sebagai "Si empunya wajib" belum bisa terwujud sepenuhnya. Segudang argumen dibuat untuk menunjang perubahan hanya tetap menjadikan kata "wajib" bagai jimat yang harus disimpan dan dijaga rapi sampai tidak tersentuh oleh siapapun sama sekali. Tidak heran kalau celah ini dilihat sebagai peluang bisnis yang ternyata bisa tumbuh subur bagi sebagian orang. Kondisi yang jauh dari idealis tentunya. Dan jangan heran juga jika ada (banyak) yang menuntutkan pendidikan murah (gratis) semakin marak. Karena memang kondisinya yang menumbuh-suburkan untuk dituntutkan. Pendidikan Formal dan Informal Pendidikan formal tentu saja lebih bahkan sangat penting jika dibandingkan dengan informal. "Fenomena" yang ada saat ini menunjukkan fakta yang berbeda. Pendidikan informal menjadi penting juga bahkan bisa sama penting dengan pendidikan formal terutama bagi sebagian orang. Apakah perkembangan ilmu pengetahuan sebagai produk utama pendidikan sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga sekolah-sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal sudah tidak mampu lagi mengakomodir perkembangan tersebut? Sehingga dibutuhkan pendidikan informal untuk mengatasinya? Sudah pasti dari sisi bisnis hal tersebut merupakan peluang emas yang harus segera dimanfaatkan oleh pemodal. Atau tingginya tuntutan dunia pendidikan yang hanya melihat keberhasilan dari besarnya (peningkatan) standar nilai yang setiap tahun (memang harus) meningkat? Atau lagi, memang dunia bisnis yang memang masif berstrategi sebagai bagian dari bisnis? Baginya bukankah sah-sah saja sejauh kualitas pendidikan juga bisa meningkat (walau mahal)? Begitulah keadaan antara pendidikan formal dan informal kita yang masih menebar tanya. Dan kenyataan yang berkembanglah yang berkuasa atas keadaan yang ada. Antara Idealis dan Bisnis; Mendidik Dunia Pendidikan Kita Secara tidak langsung ketika bicara pendidikan, kita juga bicara ilmu pengetahuan, seharusnya memang hal itu yang utama. Dalam pendidikan sendiri ada proses belajar untuk suatu perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa, buruk berubah menjadi baik. Dan pengalaman menjadi guru yang paling baik dari siapa saja yang mau belajar. Namun kenyataan yang umum jika bicara pendidikan saat ini adalah sekolah, uang sekolah (untuk buku, SPP, dsb) dan bimbel (atau sejenisnya). Dimana semua hal tersebut bermuara pada masalah dunia pendidikan sendiri yang masih banyak masalah, yang satu sisi bisa melahirkan solusi sekaligus mendidik dunia pendidikan kita. Kondisinya akan sulit ketika orang per orang atau per kelompok saja yang dengan ide-ide pemikiran kritis yang segar merintis jawab atas peliknya masalah. Karena memang setiap masalah adalah integral dari permasalahan negara. Karena itu pemerintah memegang peran penting sebagai "Si Empunya segala" dalam memayungi segala daya upaya untuk suatu solusi. Antara idealis dan bisnis dunia pendidikan, ada dialektika yang logis terjadi dan berkembang (pesat) saat ini, sebagai konsekuensi dari suatu keadaan (masalah) yang terjadi. Suatu keadaan yang kompleks dan belum bersolusi secara signifikan. Antara idealis dan bisnis juga ada kontradiksi yang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Dan diantaranya kita mencoba mengurai masalah dengan berharap dan menjadi bagian dari solusi yang efektif dan tepat untuk signifikan. Tidak mudah untuk sekecil apapun masalahnya, namun jika ada niat dan kemauan untuk perubahan yang lebih baik, semua menjadi mungkin dan bisa. Dengan memandang rakyat banyak sebagai pertimbangan utama yang harus menjiwai setiap solusi. ~-^ Btm, 030211
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H