Negeriku kaya, kaya kemiskinan, kaya pengangguran juga kaya masalah.
Namun juga kaya rampok-rampok berdasi yang garang melangkah dengan baju kebesaran yang sistematis.
Karena mata dan telinganya menjadi ada hanya untuk dan atas nama kepentingan.
Kepentingan yang bukan untuk rakyat banyak apa lagi untuk orang-orang yang terpinggirkan.
Bijak dan indah kata-katanya berjanji membuai, mengasa rakyat yang sudah muak dalam kebuntuan hidup yang harus hidup.
Suara-suara derita, suara-suara perubahan bergaung lirih di hati-hati yang tertindas, jadi dengungan sumbang yang jadi biasa bagi tuan-tuan rampok yang terhormat, yang sudah tidak bisa lagi bertopeng malaikat.
Bagimu negeri ini negrimu, karena bebas dan mudah untuk dijarah tanpa harus disebut penjarah.
Kilah hidupmu jadi segalanya karena cara dan maumu teramankan dalam mahal dan tingginya status sosialmu.
Kolusimu mesra memanja nepotisme yang menyubur kroni-kronimu untuk nyaman melenggangkan korupsi. Semakin aman jurus diumbar demi dan hanya kepentingan.
Dalam angkuhmu mengindah janji, yang ada hanya kosong besarmu membekas negri. Namun bagimu tetap segalanya jadi negrimu.
Namun rakyat kecil yang selalu dikecilkan hanya pasrah getir menyayang negri.
Bergelut dengan hari dan waktu yang selalu tidak berpihak untuk ketidakpastian dari hidup yang sudah pasti, yang pernah angkuh berjanji.
Perjuangan dramatis yang jauh dari demokratis bagi golongan yang katanya rakyat, rakyat kebanyakan.
Hatinya meringis, rasanya labil, emosi pun rentan menjadi, dalam keseharian dari hari-hari biasanya.
Teriak, protes, atau sekedar bertanya juga menangis hanya laku dijual media untuk oplah yang besar, dari sebuah momen yang sesaat. Begitu rakyat kebanyakan jadi adanya.
Mungkin begitulah negerimu menyayang ceritanya.
Beginikah menyayang negriku?!
Tapi … Inilah ngeriku sayang…
Btm, Feb ’11
~_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H