Bising! Oleh: Erita J. Sibuea Suasana perumahan tempat saya bermukim cukup nyaman. Beberapa belas tahun yang lalu malah lebih nyaman lagi. Waktu itu jumlah rumah tetangga masih bisa dihitung dengan jari. Persis di belakang rumah ada kebun kosong yang jadi tempat bersembunyi gerombolan katak. Kalau hujan kumpulan hewan itu bernyanyi bersahutan bak paduan suara. Setiap pagi saya bisa mendengar kicauan burung di jejeran pohon kenari yang tumbuh di depan rumah. Tidak banyak kendaraan lalu-lalang. Tidak banyak debu dan tidak bising. Pokoknya menyenangkan. Sekarang keadaannya banyak berubah. Di lahan-lahan kosong yang dulu bertebaran di beberapa sudut kompleks telah dibangun rumah. Di dekat rumah ada jalan aspal yang merupakan jalan pintas menuju jalan raya di samping jalan tol. Karena makin banyak orang yang tahu tentang jalan itu, kini makin banyak pula kendaraan yang lewat setiap hari. Sejak pagi buta hingga larut malam. Yang paling menyebalkan, di akhir pekan jalan itu sering dijadikan ajang balap motor anak-anak muda yang tinggal di sekitar kompleks. Lapangan rumput yang dulunya diperuntukkan sebagai area bernafas kompleks perumahan dan jaraknya hanya seratusan meter dari rumah kini dijadikan tempat olahraga setiap Sabtu dan Minggu pagi. Suara lagu-lagu senamnya? Ya, ampun! Menghentak-hentak, mengalahkan suara orkes dangdut di hajatan kampung. Akibatnya, acara tidur, baik siang maupun malam, tidak lagi senikmat dulu. Oh, ada lagi tambahan polusi suara! Dan yang satu ini benar-benar menjengkelkan. Tetangga di seberang jalan punya anak kecil. Nah, menurut saya, anak kecil itu benar-benar seperti monster yang dikirimkan oleh planet Bising bin Berisik untuk mengacaukan hidup saya. Betapa tidak. Coba bayangkan, setiap pagi, selagi asyik menikmati sarapan pagi, saya mendengar anak kecil itu menjerit cengeng. Terkadang dibarengi teriakan cempreng "Papa, papa, adek ikut, adek ikut!". Saya sampai hafal jadwal tangis anak itu. Pagi hari dari jam tujuh sampai jam sembilan. Pada hari-hari tertentu dia menangis menjelang sore. Itu waktu dia digendong oleh pengasuhnya (mungkin) sambil jalan-jalan sore. Tangisannya mengganggu sekali dan sering membuyarkan lamunan saya yang memang senang mengkhayal menggapai bintang. Saya mengeluh karena tak tahu cara mencari solusi yang bisa meredam kebisingan ini. Saya bukan tipe orang yang suka beradu mulut dengan tetangga. Jadi saya tidak punya niat untuk mengajukan keberatan terhadap orangtua si anak kecil itu. Saya cuma bisa mengumpat sambil berharap bahwa suatu hari keluarga itu pindah jauh-jauh dari rumah saya. Harapan saya terkabul tetapi tidak dengan perginya sumber bunyi yang saya benci itu. --- Suatu hari saya berkendara di daerah Fatmawati, dari utara menuju arah Jakarta Selatan. Karena lalu lintas padat, mobil bergerak lambat sekali. Di sekitar daerah pertokoan Duta (E)Mas, mobil berhenti karena lampu merah. Saya menoleh ke sebelah kiri. Ada gedung sekolah. Serombongan anak-anak berseragam berdiri di halte bus. Tak ada yang aneh. Layaknya anak-anak masa kini wajah mereka cerah. Ada yang tersenyum, ada juga yang tertawa sambil mencolek-colek temannya. Saya mulai memperhatikan tingkah mereka. Beberapa orang dari mereka menggerak-gerakkan lengan dan jari-jari membentuk kode lalu tersenyum. Menggerak-gerakkan jari lari lalu tertawa. Sebagian dari mereka berlari mengejar bus. Dari dalam bus yang bergerak perlahan, seorang anak yang mendapat tempat duduk kembali membentuk kode-kode dengan jemari lalu melambai ke arah teman-temannya yang masih di halte. Ternyata mereka 'berbicara' dalam sunyi, berinteraksi dengan bahasa isyarat. Mereka murid-murid SLB (sekolah luar biasa) Yayasan Santi Rama, dan yang saya lewati itu sekolah khusus untuk para tuna wicara dan tuna rungu. Saya mencoba membayangkan betapa sepinya dunia mereka. Tak ada kicau burung, tak ada nyanyi katak dan tak ada bisik daun di semilir angin. Tak pernah terdengar suara manusia berkata-kata apalagi suara ibu melagukan Nina Bobo. Saya seolah tercekik dan tak bisa bernafas. Duh, Gusti, betapa inginnya mereka mendengar sedenting suara, suara apa saja! Dan saya? Saya mengeluh karena telinga ini bisa mendengar! Saya terkesima dan merasa malu terhadap diri sendiri. Saat itu saya terdiam. Perlahan saya merajut doa dan mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta. Terima kasih untuk kebisingian yang masih bisa saya dengar termasuk teriakan cempreng anak kecil itu! --- Gambar-gambar diambil dari Google Image EJS-5@kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H