Siapa di jagat pertiwi ini yang tak mengenal namanya. Bahkan jauh-jauh hari orang-orang sudah disibukkan dengan perayaan tahunan ini. Sibuk memikirkan status apa yang akan dipajang di facebook pas hari kartini nanti. Sibuk merumuskan artikel apa yang akan dipublikasikan di blog pas hari kartini tahun ini. Semua orang seolah tenggelam dalam euforia pesta emansipasi yang salah kaprah. Sampai abai dengan makna emansipasi yang sesungguhnya.
Saya sendiri pun belum tentu memahami makna emansipasi yang sebenarnya. Tapi penggambaran tokoh berikut semoga bisa memberikan sedikit pertimbangan tentang pemahaman emansipasi.
Gue Maya. Gue seorang penulis lepas. Semua-mua bisa menjadi topik tulisan. Di mana-mana bisa menjadi tempat menulis. Iya sih gue seorang ibu rumah tangga juga. Tapi hari gini udah gak jaman wanita hanya dijadikan teman di kasur, dapur lan sumur. Wanita juga berpotensi meraih karier yang tinggi. Karna pemikiran wanita tak kalah hebatnya dengan pemikiran pria. Karna wanita pun sama berpeluangnya mewarisi gen kejeniusan orang tuanya, sama seperti halnya kaum pria.
Saya Maymunah. Saya guru di sekolah dasar. Bagi saya mengajar adalah panggilan jiwa. Tak sekedar profesi atau pun kegiatan mengumpulkan pundi-pundi uang. Di pelajaran PKn kelas 2 SD saja sudah diajarkan, yang bertugas menafkahi itu ayah. Seorang ibu hanya berperan membantu mencari nafkah tambahan saja. Jadi jika menjadi ibu rumah tangga itu tugas utama, menjadi guru adalah panggilan jiwa tanpa mengabaikan peran saya sebagai ibu rumah tangga. Mengapa? Sebab segala sesuatu memiliki batas dan ruang lingkupnya. Begitu juga dengan emansipasi wanita.
Aku Weni, karyawan sebuah perusahaan swasta. Pagi buta berangkat kerja. Malam gulita baru kembali ke kontrakan tercinta. Begitu keseharianku. Aku tak risih dengan pemikiran orang. Toh di sini wanita bekerja sudah lumrah. Sekalipun aku tak pulang ke kontrakan pun tak ada yang mau tahu. Tak ada yang ambil peduli. Sebab ini di kota besar. Kota yang berbagai peluang dan kesempatan terbuka lebar-lebar, bagi wanita, lebih-lebih bagi pria. Karna di sini hak asasi di junjung tinggi.
Saya Karni. Pekerjaan saya ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang sapu. Dari sehabis subuh saya sudah harus berangkat. Menyusuri jalan. Mengayuhkan sapu lidi di tepian pengendara. Banyak yang bertanya, kenapa tega meninggalkan anak-anak sepagi buta itu? Apa tak menyiapkan sarapan untuk anak-anakmu dulu? Saya hanya tersenyum menanggapi semua pertanyaan itu. Tapi mau bagaimana lagi, lah wong hanya dengan cara ini saya bisa setiap hari menyediakan sarapan. Hanya dengan cara ini anak-anak saya bisa tetap mengenyam pendidikan.
Kawan, dari pengisahan realitas di atas, bagaimanakah makna emansipasi yang selakyaknya? Mari renungkan.
Tanah Maya, 21 April '03
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H