Hingar bingar kisruh yang terjadi di Universitas Indonesia telah banyak menyita perhatian. Bagaikan bola salju yang diawali reruntuhan kecil, menggelinding liar menjadi bongkahan besar. Pemberian gelar kehormatan pada Raja Arab menjadi pemicu kecil dari melubernya berbagai permasalahan besar di UI.
Ada prasangka yang tidak elok mengenai gelombang kekisruhan ini. Yang paling jelas adalah isu pemilihan rektor baru yang akan diselenggarakan pada agustus 2012. Banyak yang memandang sinis perseteruan antara pihak pendukung rektor dan pihak penentang rektorkarena ditengarai untuk memperebutkan kekuasaan atas UI. Sekali lagi, buntut dari kisruh ini adalah perebutan pengaruh dan kekuasaan. Layaknya lakon politik negeri ini, UI seperti tak mau kalah heboh dengan perseteruan politik di kancah nasional. Berlarut-larut tanpa jelas arah, namun muara nya adalah kekuasaan.
Pemilihan rektor UI memang sarat akan berbagai kepentingan. Masing-masing golongan pastiingin menjadi penguasa dari para calon cendikia negeri masa depan. Sang incumbent secara kasat mata sudah memberikan sinyal-sinyal pencalonan kembali. Pembangunan yang digeber di akhir tahun ini adalah bukti sahih akan niatan nya untuk kembai berkuasa. Mungkin ia akan memakai sologan “pembangunan belum usai” untuk memuluskan kembali kiprah “tulus” nya sebagai pemimpin UI di periode ke dua.
Tak kalah riuh, para calon penantang pun terus menggempur dengan eksploitasi keburukan sang incumbent. Perang data di media pada akhir tahun lalu adalah tanda keseriusan mereka untuk merebut kuasa. Calon memang belum secara eksplisit didengungkan. Mungkin menunggu waktu yang tepat, atau malah tidak ada figur kuat untuk dicalonkan? Entahlah.
Isu sensitif pemilihan rektor akan menjadi komoditas utama perbincangan di UI dalam bulan-bulan ke depan.Mungkin kita akan sering kita mendengar dosen-dosen memberi intermezo di kelas mengenai masalah ini. Untuk itu, penting diketahui untuk para pemangku kepentingan di UI mengenai mekanisme pemilihan rektor. Peraturan menteri pendidikan nasional nomor 24 tahun 2010 memuat mekanisme pemilihan tersebut. Pemilihan rektor akan dilakukan 4 tahapan. Mulai dari penjaringan bakal calon, tahap penyaringan calon, pemilihan calon dan terakhir adalah pengangkatan.
Dalam peraturan itu pula disebutkan pula, syarat seseorang untuk menjadi rektor minimal pernah menjabat sebagai ketua jurusan atau lebih tinggi. Setelah melalui penjaringan, akan dipilih 3 calon nama. Kemudian ke tiga nama tersebut, sesuai dengan peraturan baru, akan diajukan kepada mendiknas.
Yang paling aneh dalam peraturan tersebut adalah, jika diperaturan sebelumnya senat memiliki suara 100% untuk memilih rektor, peraturan yang baru tersebut akan dilakukan pemungutan suara secara tertutup dengan ketentuan, menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih dan senat memiliki 65% hak suara dan masing-masing anggota senat memiliki hak suara yang sama.
Peraturan yang sangat lucu. Peraturan ini terlihat seperti keinginan pemerintah untuk masuk lebih dalam dan mengontrol perguruan negeri dengan memilih rektor sesuai keinginan mereka. Pemerintah terlihat terlalu bernafsu untuk menguasai perguruan tinggi. Peraturan ini dibuat untuk memaksakan kehendak mereka berkuasa dengan diwakili oleh antek-antek nya. hal ini akan menjadi masalah besar nanti nya, mengingat kondisi pergolakan politik di internal UI sendiri. Dengan porsi yang besar tersebut bisa dipastikan bahwa calon yang didukung oleh menteri atau pemerintah yang akan menang. Ironis sekali dengan semangat demokrasi yang dikumandangkan para penguasa negeri. Semangat yang tercemar oleh nafsu syahwat berkuasa.
Dengan kondisi baik pun kita akan ragu terhadap independensi pemerintah dalam pemilihan rektor. Apalagi diperparah dengan kisruh tak berkesudahan dalam internal UI. Bisa jadi pemilihan rektor yang akan datang malah semakin mempertontonkan ketololan masing-masing golongan dalam memperebutkan kekuasaan. Energi besar akan terkuras, akan banyak kesempatan yang hilang untuk berprestasi bagi mahasiswa, karena terpukau pada lakon politik ini. Apabila demikian, kita harus mengangkat topi untuk para politikus negeri karena telah sukses memberi contoh kepada institusi dan orang-orang untukmenjadi budak kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H