Mohon tunggu...
Mr Irfandi
Mr Irfandi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pedagang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fragile Five

2 Desember 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini menjadikan The Fed – Federal Reserves, sebagai rock star besar dunia. Namun jelas, tidak pada panggung hiburan. Bukan lagi melalui kebijakan impetus, namun sebuah deklinasi  yang mengguncang. Sebelumnya, melalui instrument stimulus moneter yang terbilang ‘unconventional’ bank sentral AS ini melakukan pembelian surat utang pemerintah sehingga membanjiri institusi keuangan, dalam dan luar negeri, dengan arus modal yang diharapkan untuk meningkatkan pembiayaan dan likuiditas. Hal ini menjadikan The Fed, secara de facto, sebagai hedge fund terbesar di jagad, menurut Warren Buffet.

Adalah Quantitative Easing (QE) atau dalam bahasa awam disebut dengan pelonggaran kuantitatif, yang menjadi obat untuk ekonomi AS yang sakit pada 2008. Hingga saat ini telah terdapat 3 tahap QE yang dilakukan (pernah dilakukan pada 1961 – operation twist dan juga pada 1979). Tahapan pertama (QE1) dilakukan pada 2008 Desember  - Maret 2010, dimana ketika itu The Fed membeli mortgage-backed securities sebanyak USD 1.25 trillion dan USD 175 miliar untuk surat utang perusahaan.  Kemudian, tahapan kedua (QE2) The Fed menghamburkan uang sebanyak USD 600 miliar pada periode November 2010 hingga June 2011. Dan tahapan ke 3 (QE3) adalah sebesar USD 275 miliar. Sehingga jika ditotal adalah sebesar USD 2 triliun (Rp 20rb triliun) untukmembayar ‘resep obat’ mengobati ekonomi AS.

Jika di US menjadi obat untuk meredakan penyakit, lain halnya dengan negara lain, khususnya emerging market. QE menjadi suplemen sehat untuk menggenjot pertumbuhan tinggi. QE pun seakan menjadi bayang-bayang keberhasilan dalam merampungkan pertumbuhan tinggi yang akhirnya menasbihkan kekuatan ekonomi mereka.Terlihat pada grafik dibawah, setelah terjadi krisis 2008, negara-negara berkembang mengalami peningkatan pada pertumbuhan ekonomi. Selain ditopang pada tingginya konsumsi domestik, negara-negara ini juga mendapat suntikan arus modal yang menyerbu berbagai  instrument investasi mereka.

Setelah 4 tahun merasakan zona nyaman akibat gelontoran dana stimulus yang mampu membawa jutaan warganya naik kelas, negara-negara berkembang yang sebelumnya ceria pun menjadi kelabu. Kabar bahwa The Fed akan melakukan tapering off pada awal tahun ini menjadi sentiment negative untuk negara-negara emerging market.  Terlebih lagi tarik ulur kapan waktu untuk tapering off makin memperbesar volatilitas akibat ketidakpastian ini.

13859710871583043082
13859710871583043082

Memang terlihat bahwa stimulus telah memberikan angin segar bagi ekonomi AS. Semenjak Pertengahan tahun 2010, data tingkat pengangguran mengalami perbaikan. Tercatat unemployment rate telah mengalami penurunan sebesar 23% pada periode 2010 – November 2013. Perbaikan inilah yang dilihat sebagai alat ukur untuk memangkas stimulus moneter tersebut. Walau masih berada di 7%, trend penurunan ini menjadi dasar untuk pemangkasan stimulus secara bertahap.

Pertimbangan pemangkasan stimulus tersebut banyak mempengaruhi berbagai kebijakan dinegara lain. Capital outflow yang terjadi membuat jeblok nya kinerja keuangan di pasar modal pada negara-negara berkembang. Pelemahan nilai tukar dan tergerus nya cadangan devisa terjadi di hampir semua negara berkembang. Berbagai negara telah melakukan penyesuaian dengan mengeluarkan aturan-aturan hingga paket kebijakan untuk menstabilkan ekonominya.

Hingga saat ini, setidaknya terdapat 5 negara (Brazil, Turkey, South Africa, Indonesia dan India) yang paling mengalami tekanan terhadap isu tapering ini. Pada Agustus lalu, Morgan Stanley mengkategorikan kelima negara tersebut sebagai Fragile Five. Kelima negara yang paling tertekan terhadap penguatan dollar AS akibat tapering.Tingginya inflasi, perlambatan pertumbuhan, besarnya defisit pada neraca berjalan, danperlambatan ekonomi China membuat mata uang negara-negara ini sangat rentan.

Seperti terlihat di grafik, Indonesia menjadi negara yang mata uangnya terdepresiasi paling dalam. Rupiah telah terdepresiasi 15.2% (ytd). Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunganya hingga 275 basis poin belum mampu menjaga tingkat kestabilan rupiah. Pelemahan ini juga didorong oleh lemahnya  fundamental ekonomi yang tercermin pada current account yang mengalami deficit sebesar 3.27%.

13859711051035827931
13859711051035827931

Selain itu, Afrika Selatan, India danTurki mencatat pelemahan double digit pada mata uang mereka. Kesamaan pada negara-negara ini adalah memiliki current account deficit yang tinggi antara 5% - 7%. Turki merupakan negara yang nilai CAD paling tinggi yaitu sebesar -6.62%.

Selain itu, Bank Sentral Brazil telah melakukan banyak intervensi dengan melakukan penjualan swaps dan meningkatkan suku bunga nya (selic rate) hingga 10% atau tertingggi dalam setahun. Memburuknya CAD dan tingginya inflasi menjadi kabar buruk untuk Brazil mengingat mereka memiliki hajatan besar untuk menggelar Piala Dunia 2014. Protes warga lokal pun mengalir akibat buruknya pelayanan masyarakat.

1385971119995643518
1385971119995643518

Lain halnya dengan Afrika selatan, diantara kelima negara fragile five, negara inilah yang masih belum menaikkan interest rate nya. Hal ini dikarenakan filosofi mereka untuk tidak melakukan intervensi pada mata uang. Penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi China menambah derita negara ini.

Turki juga demikian, sama-sama mengalami hal yang sama dengan kelima negara diatas. Tingginya inflasi selama 3 tahun ini menjadi sentiment utama yang menyebabkan volatilitas. Namun, turki merupakan negara yang memiliki kebijakan moneter yang paling fleksibel dibanding negara fragile five lainnya. Selain itu, posisi fiscal yang membaik dari waktu ke waktu. Bank sentral turki telah malakukan forex auction untuk mendukung mata uang lira. Disamping itu, mereka menjaga interest rate untuk tidak berubah.

Potensi pengurangan QE bukan lagi masalah iya atau tidak, namun kapan waktunya. Pemerintah AS harus tegas untuk tidak mengulur-ngulur kebijakannya karena hal tersebut yang akan memperbesar volatilitas. Untuk meredam pasar yang bergejolak tersebut, Bank of Japan juga akan melakukan stimulus moneter dalam waktu dekat ini, baik quantitative maupun qualitative easing. Hal tersebut juga mendukung upaya ekspansi ekonomi pemerintahan Shinzo Abe. Meski demikian, banyak yang meragukan stimulus dari negara matahari terbit ini dapat menggantikan QE dari The Fed.

Negara-negara yang rentan terkena imbas dari penguatan dollar sudah jauh-jauh hari mengencangkan ikat pinggang untuk melewati badai QE. Berbagai kebijakan untuk meredam volatilitas yang bisa berdampak pada perekonomian domestik telah dilakukan. Nah, tinggal bagaimana menjaga pertumbuhan di tengah pengetatan adalah pekerjaan rumah bersama antara otoritas moneter dan pemerintah.  Bravo!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun