Mohon tunggu...
Mr Irfandi
Mr Irfandi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pedagang

Selanjutnya

Tutup

Politik

Igauan: Perusak Ritme

13 Februari 2011   06:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:39 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kebiasaan kita terganggu oleh ‘perusak ritme’ banyak hal yang harus kita mulai lagi dari awal. Sebuah awalan yang sulit. Demikian juga ketika kita menemukan hal biasa yang ingin kita jadikan kebiasaan itu. Ada hal lain yang berubah dan kita harus mengikuti ritme nya agar kita terbiasa. Terbiasa dengan hal yang selama ini kita janakan dan ikuti. Bukan hal mudah, apalagi suatu kebiasaan yang sulit hilang.

Seorang teman pernah berkata mengenai kebiasaan. Jika ingin terbiasa dengan membaca, lakukanlah kegiatan membaca setiap hari tampa absen selama 3 bulan. Maka hari pertama setelah 3 bulan tersebut kita akan merasa ketagihan jika kita tidak dalam sehari membaca. Ala bisa karena biasa. Suatu ungkapan yang benar adanya. Pun demikian kala kita terbiasa dengan adanya seseorang. Dan menjadi kebiasaan kita melihatnya dan bersamanya. Ketika ia hilang maka ia menjadi ‘perusak ritme’ bagi kita.

Perusak ritme ada dimana-mana dan terjadi ketika kita sudah mulai mencintai ritme kita yang telah menjadi kebiasaan. Bukan negatif dan bukan pula positif mengenai ungkapan bagi si ‘perusak ritme’ karena ketika yang dirusak adalah kebiasaan buruk maka akan menjadi baik adanya.

Perpolitikan kini sering telihat perusak ritme. Ia digunakansebagai pengalih isu. Dan Ia pula digunakan sebagai pencitraan dan pemburukan bagi suatu objek. Demokrasi yang seharusnya dijalankan sesuai jalan nya, sering dirusak ritmenya sehingga banyak kebimbangan, ketidakpercayaan, kehreanan, melihat kejadian-kejadian yang terjadi. Ironi untuk negeri dengan buruknya ritme. Ketika ada suatu prestasi yang dicapai, ada yang dengan bangganya mem-blowup berita prestasi tersebut sehingga tampak sebagai ‘ajimumpung’ memperoleh keuntungan pribadi atau golongan, jauh sekali untuk masyarakat secara luas. Namun kadang pula suatu prestasi yang dicapai tersebut kurang mendapat respon positif. Bukan gila pujian atau pengakuan. Bayangkan mereka yang telah memperoleh prestasi namun tidak diakui, mereka akan cenderung malas untuk unjuk gigi kembali, atau malah pergi mengharumkan negeri orang. Bahkan kadang ada prestasi yang tercapai namun segera ditutupi untuk membabat kepopuleran sehingga yang berkuasa menjadi turun popularitasnya. Prestasi yang terjadi di balas dengan kegagalan yang di dapat. Apakah itu dinamika demokrasi? Dengan banyaknya intrik dan perusak ritmenya?

Omong kosong terhadiap dinamika demokrasi! Selama kekuasaan itu masih dipandang sebagai ladang mencari pemasukan, maka akan terus tercipta dan diciptakannya ‘perusak ritme’ untuk kepentingan sendiri dan golongan. Saling lindungi kesalahan atau saling klaim keberhasilan itulah yang menjadi santapan kita sehari-hari di media. Ketika ada pembabatan terhadap para politisi korup, secara tiba-tiba terjadi kerusuhan dengan isu kadaluarsa, mengenai agama. Kenapa harus isu agama yang dikorbankan. Begitu senangkah mereka merusak ritme negara kita? Negara dengan sejuta berita setiap harinya. Bukan berita menggembirakan namun berita menyesakkan dada. Membaca keburukan negara setiap harinya, membaca hal-hal negatif sehari-hari. Mungkin tanpa sadar negara kita sedang mendidik generasi perimis dan memupuk ketidakpercayaan kepemimpinan dan politik pada generasi.

Negara adalah suatu sistem yang saling mendukung. Bukan saling menyalahkan. Ketika semua elemen sistem tersebut ‘patah’ oleh perusak ritme, bukan tindakan menghakimi atau menyalahkan yang harus dilakukan namun harusnya elemen lain membantu dan menambal ‘patah’ tersebut secara bersama-sama. Apabila telah tercipta sistem yang saling mendukung, sebanyak apapun ‘perusak ritme’ akan terpental oleh solidaritas suatu sistem tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun