Mohon tunggu...
Aprilia Dyah Ayu
Aprilia Dyah Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

Panggil aja April. Perempuan. Pernah TK, SD, SMP, SMA, kuliah, dan sudah menikah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah, Ibu, dan Sepeda

8 April 2012   13:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubiarkan laptopku bernyanyi sementara aku bersiap-siap berangkat kuliah. Aku masih harus memakai jilbab dan sarapan. Agar lebih cepat, aku memakai jilbab di depan cermin sambil menggigit roti.

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa. Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui. Apakah engkau masih selembut dahulu?” Mendengar puisi ini, aku menghentikan aktivitasku dan menengok ke laptop. “Memintaku minum susu dan tidur yang lelap, sambil membenarkan letak leher kemejaku. Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih. Lembah pandala wangi. Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram, meresapi belaian angin yang menjadi dingin. Apakah engkau masih membelaiku semesra dahulu?” Aku kembali menatap cermin. Di sudut cermin kulihat tawa seorang pak tua bersama istrinya yang sedang bersantai di lincak beranda rumah. “Ketika kudekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat. Apakah kau masih akan berkata, “Kudengar detak jantungmu”? Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.

Aku pun terpancing untuk bernyanyi bersamanya,”Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan yang tak kan pernah kutau di mana jawaban itu,...” dengan lafaz yang tidak jelas karena sambil mengunyah roti.

“Ayah, Ibu, aku berangkat ya!” ucapku sambil tersenyum.

Tidak seperti dulu, mereka hanya diam, tidak bisa menjawab. Semua memang sudah berubah. Sekarang dan dulu sudah berbeda.

Dari Taman Kanak-kanak hingga lulus SMP, aku bersekolah di Tegalarum, sebuah desa kecil di wilayah selatan Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Aku diizinkan naik sepeda ke sekolah pada kelas dua SD. Sebelumnya aku selalu diantar ayah dan dijemput ibu dengan sepeda onta mereka.

***

Aku merindukan saat di mana ayah melambai-lambaikan tangannya, memberikan isyarat pada pengguna jalan di belakang kami untuk mengizinkan kami menyeberang. Selesai belajar, ketika aku berjalan menuju pintu gerbang, aku pasti mendapati ibu dan sepedanya sudah ada di depan gapura untuk menjemputku.

Ibu sampai mengikat kakiku di bawah sadel agar kakiku tidak terserempet ruji-ruji sepeda. Sebelumnya memang pernah terjadi. Jika sudah begitu, ibu akan meniupi lukaku hingga aku berhenti merengek.

Suatu sore, Ibu terpaksa berjalan dari sawah sambil menuntun sepedanya karena bannya bocor. Setibanya di rumah, ibu mengeluh jempol kaki kirinya sakit. Aku menggidik ketika melihat kuku jempolnya hampir lepas karena tersandung. Pasti sakit sekali. Meski demikian, hari berikutnya tidak jauh berbeda. Aku tetap saja mendapati ibu sudah berdiri di depan gapura sejenak sebelum aku keluar kelas.

“Jadi ibu jalan kaki? Ndak bawa sepeda?”

“Baru aja dari puskesmas, belum sempet nambal ban.”

Kulihat jempol kaki kiri Ibu. Sudah terbungkus perban putih.

“Untung ya ibu ndak telat jemputnya,” tambahnya.

***

Sejak kelas dua SD, aku ke sekolah dengan bersepeda. Pagi ketika hendak berangkat, aku mendapati selembar uang seribuan dan sebungkus nasi sudah siap di meja makan. Ibu yang menyiapkannya pagi-pagi sekali sebelum pergi ke pasar untuk berjualan nasi. Biasanya aku hanya memakan setengah sarapanku. Porsi warung memang menggunung, setengah saja sudah membuatku kenyang. Di depan, sudah ada sepedaku dan seorang ayah yang sedang duduk di lincak, menungguku mencium tangannya. Sudah itu, ayah baru akan pergi ke sawah.

Masuk SMA, semua menjadi agak berbeda. Aku bersekolah di wilayah Kabupaten. Masih tetap berangkat dengan bersepeda, tapi dari rumah saudara. Di akhir pekan, aku baru pulang ke Tegalarum. Setiap Senin usai subuh, aku harus sudah berada di pasar, menunggu angkot untuk kembali ke SMA Negeri 1 Pati. Ibu pun akan meninggalkan kesibukannya dalam menyiapkan dagangan dan mengantarku menuju pasar dengan sepedanya. Bukannya aku manja. Hanya saja, ibu selalu berkata beliau tidak tega membiarkanku menunggu sendirian di tengah kegelapan.

Sekarang semua sudah jauh berbeda. Aku pamit pada foto ayah dan ibu yang tidak bisa menjawab. Aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Tidak ada sepeda. Tidak ada tangan hitam ayah atau tangan ibu yang bau asap dapur untuk kucium setiap pagi. Terakhir aku mencium tangan keduanya di penghujung liburan semester dengan sedikit tangisan perpisahan. Lalu apa kabar sepedaku? Sepedaku kuberikan pada keponakanku. Sepeda ayah kini sudah menjadi sarang laba-laba. Sedangkan sepeda ibu masih lebih baik, masih bisa mengantarnya ke pasar.

“Inimu ketinggalan.”

Aku terkejut ketika mendapati ibu ada di dekatku. Siang itu aku sudah duduk di dalam angkot jurusan Kabupaten Pati. Kulihat apa yang dibawanya. Sebuah peniti lumba-lumba yang biasa kukenakan di jilbabku.

“Ini memang kutinggal, Bu!” Aku melongok keluar. Terlihat sepeda ibu bersandar di pohon jambu. “Sama-sama ke sini, kenapa tadi tidak menawariku untuk diantar pake sepeda? Ibu kan bisa memboncengku.”

“Tadi kamu tidak bilang.”

“Tadi kan ibu sibuk masak nasi.”

“Ibu kira kamu akan malu.”

Aku diam dan menatapnya sejenak. “Kenapa harus malu, Bu? Dari dulu juga akumau diboncengin pake sepeda.”

Ibu tersenyum. “Ya harus malu to. Kamu kan udah gedhe, masa ibu masih harus boncengin kamu, ya harusnya kamu yang boncengin ibu,“ candanya.

Tak lama kemudian, angkot berangkat. Dari spion, kulihat ibu mengayuh sepedanya membelakangi angkot itu.

“Mana mungkin aku malu. Aku punya Ibu yang hebat seperti Ibu,” gumamku lirih.

Kubuka genggamanku. Sebuah peniti lumba-lumba mengedipkan kilaunya. Kupasang ia di jilbabku di dada sebelah kiri seperti saat ini.

Aku terus melangkah dan melangkah menyusuri tanjangan Kukusan Teknik.

“Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang berbeda. Pada suatu ketika yang masih sulit aku pahami. Apakah engkau masih selembut dahulu? Memintaku minum susu dan menghabiskan sarapanku sambil memposisikan sepedaku. Embun dingin pun pudar pelan-pelan karena terik di padang ilmu. Kau dan aku tegak berdiri melihat langit yang menjadi abu-abu, menahan goresan debu kota yang menjadi angkuh. Apakah engkau masih sekuat dahulu? Menitih sepeda ontamu untuk mengantarku menuntut ilmu. Ketika kudiam, kau kayuh lebih anggun, lebih cepat. Apakah kau masih akan berkata, “Kudengar detak jantungmu”? Kini dan dulu begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.”

eiph

Pati, Juli 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun