Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengakar pada prinsip keterlibatan rakyat dalam proses pengambilan keputusan politik. Di Indonesia, demokrasi diimplementasikan melalui pemilihan umum (pemilu), termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada), sebagai instrumen utama untuk memastikan kedaulatan rakyat (Dedi, 2021). Namun, seperti halnya sistem politik lainnya, demokrasi tak luput dari tantangan, hambatan, dan anomali. Salah satu fenomena unik dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah munculnya "kotak kosong" dalam pemilu, terutama pada pilkada dengan calon tunggal.
      Secara sederhana, "kotak kosong" adalah pilihan yang disediakan kepada pemilih dalam surat suara ketika hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang maju dalam pilkada. Kehadiran kotak kosong diatur secara legal dalam Pasal 54C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Regulasi ini menegaskan bahwa pemilihan dengan calon tunggal tetap harus dilaksanakan untuk menghormati asas demokrasi, di mana rakyat diberikan kesempatan untuk memilih atau menolak calon tersebut. Jika kotak kosong memperoleh suara mayoritas, maka pilkada dianggap tidak menghasilkan pemenang dan pemilihan ulang harus dilakukan. Dalam pilkada ulang, peluang akan terbuka bagi calon baru untuk maju. Namun, jika calon tunggal memperoleh suara mayoritas, maka ia akan dilantik sebagai kepala daerah (Silalahi, 2020).
      Fenomena kotak kosong dalam pilkada tidak muncul secara tiba-tiba. Kehadirannya adalah hasil dari akumulasi berbagai dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang terjadi dalam sistem demokrasi Indonesia. Dalam konteks politik Indonesia, kotak kosong mencerminkan berbagai persoalan mendalam yang melibatkan kelemahan struktural sistem politik, dominasi oligarki, serta minimnya partisipasi politik masyarakat. Salah satu faktor utama adalah sistem politik yang didominasi oleh oligarki.
      Dalam praktiknya, politik Indonesia sering kali dikendalikan oleh kelompok elit tertentu, yang memiliki kekuasaan besar atas sumber daya ekonomi dan politik (Sahide et al., 2022). Kelompok ini mampu memengaruhi keputusan politik, mulai dari proses pencalonan hingga strategi kampanye. Dominasi oligarki ini menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik, sehingga sulit bagi kandidat alternatif untuk mendapatkan dukungan, baik dari partai politik maupun masyarakat. Sebagai akibatnya, muncul kecenderungan calon tunggal mendominasi pemilu.
      Faktor lain yang turut memperkuat munculnya fenomena kotak kosong adalah hambatan besar yang dihadapi oleh calon independen. Regulasi pemilu yang berlaku sering kali dianggap tidak ramah terhadap kandidat independen. Salah satu syarat yang memberatkan adalah pengumpulan dukungan berupa fotokopi KTP dari sejumlah pemilih yang jumlahnya cukup signifikan. Proses ini tidak hanya memakan waktu, tetapi juga memerlukan biaya yang besar, terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur administratif yang belum optimal (Mahpudin, 2020). Tantangan ini membuat banyak calon independen mengurungkan niat mereka untuk maju, sehingga mempersempit pilihan bagi pemilih.
      Selain itu, fenomena kotak kosong juga diperparah oleh praktik koalisi besar yang mendukung calon tunggal. Dalam banyak kasus, partai-partai politik memilih berkoalisi mendukung satu kandidat yang dianggap memiliki peluang besar untuk menang. Praktik ini sering kali dilakukan atas dasar pragmatisme politik, seperti untuk mengamankan posisi strategis di pemerintahan daerah atau menghindari biaya politik yang tinggi (Rumesten et al., 2022). Sayangnya, keputusan ini sering kali mengorbankan semangat kompetisi yang sehat dalam pemilu. Dengan dukungan besar dari koalisi partai, calon tunggal semakin tidak memiliki pesaing yang berarti, sehingga kotak kosong menjadi satu-satunya alternatif bagi pemilih yang tidak puas.
  Kemunculan kotak kosong dalam pilkada membawa dampak signifikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Dampak ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, mulai dari hilangnya esensi demokrasi hingga persoalan legitimasi kepemimpinan. Salah satu dampak paling nyata adalah berkurangnya kompetisi dalam demokrasi. Kompetisi yang sehat antara kandidat adalah inti dari sistem demokrasi yang baik. Dengan adanya kompetisi, masyarakat diberikan alternatif pilihan, dan kandidat diharapkan dapat menyusun program terbaik untuk menarik dukungan. Namun, kehadiran kotak kosong menunjukkan bahwa elemen ini tidak selalu terwujud dalam praktik demokrasi di Indonesia (Faisal, 2024). Ketika hanya ada satu calon yang bertarung, proses pemilu kehilangan makna sebagai mekanisme kompetitif, dan demokrasi menjadi sekadar prosedur formal belaka.
Selain itu, kotak kosong juga dapat berfungsi sebagai simbol protes dari rakyat. Meskipun sering kali dianggap sebagai anomali, keberadaan kotak kosong memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem politik yang ada. Ketika kotak kosong memperoleh dukungan signifikan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan alternatif lain yang lebih baik dan lebih representatif. Dalam beberapa kasus, kemenangan kotak kosong menjadi pesan kuat bahwa rakyat tidak menerima kandidat yang diajukan, meskipun didukung oleh koalisi besar partai politik (Mahpudin, 2021).
Dampak lainnya adalah penurunan partisipasi pemilih. Pemilu dengan calon tunggal cenderung mengalami tingkat partisipasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemilu yang kompetitif. Banyak pemilih merasa bahwa hasil pemilu sudah dapat diprediksi, sehingga mereka merasa tidak ada gunanya menggunakan hak pilih mereka. Rendahnya partisipasi ini tidak hanya mengurangi legitimasi hasil pemilu, tetapi juga mencerminkan apatisme masyarakat terhadap politik. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Kemenangan calon tunggal juga menimbulkan persoalan legitimasi. Meskipun secara hukum calon tunggal yang menang dianggap sah, tingkat dukungan yang rendah atau tingginya suara untuk kotak kosong dapat menciptakan persepsi bahwa pemimpin tersebut tidak sepenuhnya mewakili aspirasi rakyat (Sari et al., 2020). Legitimasi yang lemah ini dapat menjadi hambatan dalam menjalankan pemerintahan, terutama ketika masyarakat merasa bahwa pemimpin yang terpilih tidak benar-benar memiliki mandat dari rakyat.