Dalam artikel ini, saya akan mencoba merangkum dan menceritakan beberapa kisah dan pengalaman saat menjalani pendidikan doctoral (Daigakuinsei / PhD course ) bidang jantung (Jyunkanki-naika = cardiovascular internal medicine) di Jichi Medical University Hospital, yang untuk seterusnya akan disingkat dengan JMU, di Jichiidai, kota Tochigi, saitama prefecture, jepang. Untuk sampai di rumah sakit JMU ini, membutuhkan waktu lebih kurang 1.5 jam dengan kereta biasa (JR Line) ke arah utara dari kota Tokyo (Ueno Station). Bisa jauh lebih cepat dari itu jika kita menggunakan kereta shinkansen, tapi dengan konsekuensi harga tiket yang bisa sampai 2-3 kali lipat lebih mahal dari harga tiket biasa. (harga tiket biasa dari Tokyo ke jichiidai adalah 1620 yen, dengan asumsi kurs saat ini 1 yen = 100 rupiah, maka harga tiket lebih kurang Rp 162.000,- ). Tochigi juga berlokasi lebih kurang 183 Km arah selatan dari Fukushima, tempat hancurnya reactor nuklir (Fukushima genpaku) pasca bencana gempa dan tsunami 11 maret 2010 silam.
Cerita ini akan saya mulai dari kehidupan mahasiswa kedokteran yang studi di JMU. Mahasiswa kedokteran di JMU total berjumlah 600 orang, dengan pembagian 100 orang untuk masing-masing tingkat (tingkat 1 sampai 6). Tiap angkatan memiliki wakil dari  masing-masing daerah yang berada di jepang, yang berarti mahasiswa kedokteran JMU datang dari berbagai penjuru di jepang, mulai dari ujung utara sampai selatan, mulai dari Hokkaido sampai Okinawa, dan bahkan ada yang datang dari pulau-pulau terpencil yang berbatasan dengan negara tetangga (Korea Selatan). Semua mahasiswa dibiayai penuh oleh pemerintah daerahnya masing-masing, yang berarti tidak ada seorangpun dari mereka yang membayar biaya kuliah, alias gratis. Mereka hanya diwajibkan membayar biaya apartemen (semua mahasiswa kedokteran JMU wajib tinggal di gakuseiryou / apartemen mahasiswa) dengan biaya sewa kamar perbulan adalah 5000 yen (Rp 500.000,-). Ini sudah termasuk yang paling murah jika dibandingkan dengan biaya sewa apartemen di tempat lain yang berkisar 20-30 ribu yen perbulan. Jauh lebih murah jika dibandingkan dengan kehidupan di Tokyo yang untuk sewa apartemennya bisa sampai ratusribuan yen perbulannya. Karena biaya kuliah dibayar penuh oleh pemerintah, sebagai konsekuensinya, setelah menyelesaikan pendidikan dokter, mereka punya kewajiban mengabdi di daerah masing-masing (kita lebih mengenalnya dengan istilah internsip) selama 9 tahun, tanpa pengecualian, karena sebelum masuk JMU mereka sudah membuat kontrak hitam di atas putih dengan pemda setempat.
Sistem pendidikan kedokteran jepang agak berbeda dengan sistem kedokteran di Indonesia. Di Jepang, tidak ada istilah S.Ked. Mahasiswa tahun 1 sampai 3 tetap menjalani perkuliahan seperti biasa di universitas. Pada tahun ke 4, di mulai lah BSL (Bed Side Learning), yang berarti mulai belajar di Rumahsakit, yang berlokasi di depan Universitas. BSL ini hampir mirip dengan kepaniteraan klinik atau koas,hanya saja mahasiswa kedokteran tidak diwajibkan untuk dinas jaga. Pada tahun 4, mahasiswa menjalani BSL di semua bagian penyakit dalam (naika) yang ada di RS. misalnya di bagian cardio 2 minggu, nephrology 2 minggu, dermatology 2 minggu, neurology 2 minggu, dst. Jika sudah selesai semua rotasi di bagian penyakit dalam, dan masih tersisa waktu, mahasiswa tadi akan kembali menjalani kuliah di universitas. pada tahun 5, menjalani sistem rotasi yang sama, tapi kali ini di bagian bedah (geka). Misalnya di bagian bedah saraf 2 minggu, bedah jantung 2 minggu, bedah tulang 2 minggu, dst. Dan akan kembali ke universitas untuk kuliah jika masih tersisa waktu pada tahun ini. Untuk tahun ke-6, para mahasiswa dibebaskan memilih tiga bagian yang mereka minati (ambil contoh mahasiswa A yang memilih untuk menjalani rotasi di bagian cardio, bedah orthopedic dan pediatric). Pada tahun ke-6 ini, masing-masing rotasi dijalani selama 3 bulan. Setelah selesai, mereka akan kembali lagi belajar di universitas sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional (kita mengenalnya dengan istilah UKDI). Pada saat menjalani BSL, kegiatan berjalan selama 5 hari (senin sampai jum’at) dan waktu dimulai kegiatan harian biasanya jam 8 pagi, dan berakhir jam 8 atau 9 malam, bisa lebih tergantung kegiatan tim masing-masing mahasiswa yang bersangkutan. Kalau kegiatan cepat selesai, paling cepat pulang jam 6 sore.
Di RS pendidikan di Jepang, penanganan pasien dibagi berdasarkan tim-tim kecil, dimana 1 tim kecil terdiri dari 1 orang konsulen, 1 orang residen senior, 1 atau 2 orang residen junior dan 1 orang mahasiswa/dokter muda, yang bertanggungjawab terhadap 5-10 orang pasien. Itulah sebabnya, paling banyak hanya 10 orang mahasiswa yang masuk ke masing-masing rotasi, tidak seperti di Indonesia yang sekali masuk bagian (misal bagian bedah), koas bisa sampai 90 orang, sehingga terkadang koas menjadi kebingungan sendiri karena tidak begitu banyak mendapat bimbingan dari para residen. Tiap-tiap mahasiswa dibimbing penuh oleh residen junior, residen senior dan konsulen timnya masing-masing.
Kegiatan harian antara lain visite pasien 2 kali sehari (pagi dan malam), dan sebelum visite, dilakukan diskusi kecil tim yang bersangkutan tentang kemajuan terapi pasien. Konsulen tetap berada di rumahsakit sampai jam kerja selesai, sehingga visite malam pun tetap diikuti konsulen, sehingga diskusi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Pada minggu kedua akhir, biasanya dilaksanakan ujian. Mengenai sistem ujian, hanya berupa diskusi dengan professor bagian tentang kasus yang dipresentasikan oleh masing-masing mahasiswa. Demikian juga hal yang sama akan dijalani di bagian-bagian lainnya.
Mahasiswa kedokteran di jepang pada umunya memiliki 3 waktu libur yang panjang, libur musim panas (natsuyasumi) selama 2 bulan, dan libur musim dingin (fuyuyasumi) selama 2 minggu, dan libur akhir tahun selama 3 sampai 4 minggu. Ini terasa berguna untuk menghindari rasa jenuh dan bosan selama berada di rumah sakit, karena hari-hari habis di rumahsakit. Masuk pagi, keluar malam.
Hampir semua mahasiswa kedokteran di sini memiliki kerja sampingan. Ada yang bekerja di mini market sebagai kasir atau sekedar tukang angkat, ada yang bekerja memberi les privat, ada yang bekerja di pantijompo, cafeteria, bahkan ada yang bekerja sebagai pengantar koran. Mereka tidak malu untuk mengerjakan ini semua, karena pada akhirnya para mahasiswa ini akan bersenang-senang dengan uang hasil jerih payah mereka selama ini. Makanya, tidak heran, jika setiap datang libur musim panas, rata-rata para mahasiswa akan pergi liburan keluar negri, seperti ke eropa atau amerika, dan itu murni hasil kerja keras mereka mengumpulkan uang disela-sela kesibukan kuliah. Kalaupun memakai uang orangtua, biasanya itu hanya berupa pinjaman, dan akan dikembalikan lagi setelah mereka gajian di tempat kerja masing-masing.
Kegiatan tidak melulu diisi dengan kuliah dan kegiatan di rumah sakit. Ekstrakulikuler menjadi kegiatan yang tidak kalah penting. Semua disediakan oleh pihak kampus, sehingga mahasiswa tidak perlu lagi memutar otak mencari sumber dana untuk membiayai kegiatan ekstra mereka (jadi teringat bertapa sulitnya untuk membeli sebuah bola dan menyewa sebuah lapangan sepakbola saat masih kuliah dulu, karena tidak ada pasokan dana, walaupun proposal sudah diajukan beberapa bulan sebelumnya).
Menyambung sedikit mengenai tahun terakhir di sekolah kedokteran (tahun 6). Setelah menyelesaikan tiga rotasi pilihan (di tahun ke 6 ada tiga rotasi yang bisa kita pilih sesuai minat, masing-masing dijalani selama lebih kurang 3 bulan). Setelah selesai rotasi ketiga, semua kembali belajar ke universitas untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Ada 2 jenis ujian akhir untuk mahasiswa kedokteran di sini. Yang pertama ujian dari universitas. Untuk ujian ini ada 2 kali kesempatan. Jika gagal pada ujian pertama, masih ada kesempatan ujian remedial. Namun, jika gagal lagi pas ujian remedial, maka dengan terpaksa mahasiswa tersebut harus mengulang lagi satu tahun kuliah kedokteran (mengulang di tingkat 6). Dan itu kemungkinan besar biaya harus di tanggung sendiri untuk satu tahun terakhir, karena pemerintah daerah yang mengirim mahasiswa tersebut untuk kuliah di JMU hanya menanggung biaya selama 6 tahun. Maka tak heran rasanya jika masa-masa menjelang ujian akhir dan ujian nasional, yaitu bulan februari-maret*, pustaka selalu penuh. Hampir-hampir tidak ada lagi bangku kosong yang tersisa. Dengan fasilitas pustaka yang lengkap, ditunjang internet yang bisa mengakses jurnal-jurnal terbaru, textbook yang selalu uptodate, dan ruangan yang nyaman, wajar rasanya jika banyak mahasiswa yang memilih untuk belajar di perpustakaan, sehingga kehadiran pustaka bisa dimanfaatkan dengan maksimal, bukan hanya jadi sekedar pelengkap bangunan universitas. Mahasiswa focus untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir, dan biasanya pada saat-saat seperti ini, kegiatan ekstrakulikuler juga diistirahatkan untuk sementara. Textbook yang dimaksud diatas selain bahasa jepang, ada juga yang bahasa inggris.
{*di jepang, semua tingkat sekolah mulai dari TK sampai PT memulai tahun ajaran baru pada awal april, disaat bunga sakura sedang bermekaran dan suhu yang sejuk (tidak panas dan tidak dingin). Sehingga menjadi semacam penambah semangat untuk memulai tahun ajaran baru. kalender akademik yang sama untuk semua tingkat pendidikan di jepang, selain memudahkan dalam pengaturan jadwal akademik, juga memudahkan bagi keluarga2 yang ingin pergi libur keluarga bersama, karena saat TK libur panjang (libur musim panas), otomatis PT juga libur musim panas yang sama. Jadi misalkan dalam satu keluarga ada yang masih SD, SMP dan kuliah di PT, semua nya bisa pergi libur bersama}
Setelah tamat dokter, masing-masing mahasiswa bisa memilih mau meneruskan ke bidang klinik atau ke bidang basic science. Kalau memilih ke basic science, maka akan berkutat dengan penelitian di laboratorium, jadi tidak perlu lagi magang di RS. Dengan dana penelitian yang melimpah, kegiatan penelitian yang berjalan secara berkesinambungan, dan status peneliti juga yang mendapat tempat dan penghargaan khusus, tidak heran banyak juga yang memilih untuk beralih menjadi researcher, walaupun berawal dari mahasiswa kedokteran. Jika memilih ke bidang klinik, maka diwajibkan untuk magang. Tahap ini dinamakan junior resident. Tahap ini bisa dilalui di RS universitas, bisa juga di RS pinggiran (jika memang ditugaskan disana).
Junior resident dijalani selama 2 tahun (tahun pertama di sebut J1(J-one), dan tahun kedua disebut J2(J-two). Pada tahun pertama sebagai junior resident, kembali diberikan pilihan untuk memilih bagian mana yang disukai. Ambil contoh mahasiswa B yang memilih magang di bagian cardio, pediatric, dermatology, alergi-imunologi, abdominal surgery, dll. Masing-masing bagian dijalani selama 3 bulan. Demikian juga halnya dengan junior resident pada tahun kedua (J2-Jtwo). Pekerjaan sebagai Junior resident hampir mirip dengan kerjaan koas di RS pendidikan di Indonesia. Saya ambil contoh di bagian cardiology (kalau dibagian lain kurang jelas juga detailnya seperti apa). Di sini, kegiatan Junior resident dimulai dari pagi pukul 7.00 atau 7.30. kegiatan rutin adalah mengambil darah pasien untuk dicek dilaboratorium. Sebisa mungkin pengambilan darah dilakukan sebelum datang jam sarapan pagi pasien (pukul 08.00). setelah mengambil darah, sampel darah di antar sendiri ke laboratorium. Semua kegiatan ini dilakukan oleh petugas kesehatan, bukan oleh keluarga pasien. Urusan penanganan pasien semua menjadi tanggung jawab pegawai rumah sakit. Mengenai pengukuran tekanan darah, nadi, suhu, berat badan, dll semua dilakukan oleh perawat. Kegiatan yang berhubungan dengan tindakan dan intervensi baru dikerjakan oleh dokter seperti mengambil darah atau memberikan obat injeksi iv, dll.
Setelah itu kira-kira pukul 8.30 atau 9.00, melakukan ritual shin-gi atau diskusi dalam tim kecil bersama konsulen, senior residen dan dokter muda tim yang bersangkutan. Biasanya yang dibahas adalah keluhan pasien, dan apa rencana2 tindakan pada hari itu. Diskusi paling lama berlangsung 1 jam, tergantung juga berapa jumlah pasien yang menjadi tanggungjawab tim tersebut. Setelah diskusi ini nantinya Junior resident akan mengerjakan semua order dari konsulen atau senior residen untuk pasien.
Jam istirahat dan jam makan siang biasanya jam 12, tapi jarang yang tepat waktu karena kerjaan yang belum selesai pada pukul 12. Setelah jam makan siang, kembali beraktifitas seperti biasa. Entah mau dibilang lebay atau tidak, tapi sangat jarang, atau mungkin hampir tidak pernah saya temui orang jepang yang setelah makan siang, ngobrol2 sampai sejam lebih. Rata2 menggunakan waktu istirahat cuma 30 menit. Setelah makan siang bersama, istirahat 5-10 menit, habis itu kembali bekerja. Saya tidak mengerti apakah ini memang bawaan atau karena memang tipe pekerja yang ada pada diri mereka. Karakter kesadaran diri ini bukan lah dibangun dengan instant, tapi dibangun sejak kecil dengan pola pembinaan yang baik dan berkesinambungan.
Kemudian sekitar jam 5 atau 6 sore, selesai seminar ekokardiografi atau seminar kateterisasi jantung, biasanya dilakukan diskusi kembali untuk membahas bagaimana perkembangan pasien hari itu, atau apa rencana tindakan untuk esok hari nya. Biasanya setelah diskusi malam, dilanjutkan dengan visite pasien.
Junior resident hanya memiliki dinas jaga 1 kali sebulan. Dinas hanya sebagai tempat konsul untuk pasien2 yang penyakit dalam (nefrologi, dermatologi, neurologi, dll). Jadi walaupun magang di cardio, tapi saat dinas jaga bukan hanya memegang konsul pasien cardio, tapi juga dari subbagian penyakit dalam lainnya. Walaupun dinas hanya 1 kali sebulan, toh karena jam pulang kerja tiap hari bisa sampai jam 12 malam, jadi tidak ada bedanya dengan dinas jaga. Sekali dinas biasanya dapat uang lelah 20.000 yen (Rp 2juta), diluar gaji bulanan yang juga mereka terima (kisaran 15-25ribu yen).
Tidak aneh, malah wajar rasanya jika mereka mendapatkan hak atas kewajiban yang sudah dilakukan. Walaupun hitungannya masih belajar, toh mereka secara tidak langsung sudah bekerja untuk rumah sakit. Junior resident (dokter muda/residen) lah yang sebenarnya memegang peran paling penting dalam kelancaran kehidupan rumah sakit, selain peran perawat yang juga tak kalah pentingnya. Merekalah barisan pertama yang memeriksa pasien saat pertama kali datang ke IGD, mereka yang selalu mengontrol kondisi pasien rawatan, bahkan ditiap menitnya. Jadi sudah sepantasnya para dokter muda dan residen mendapat perlakuan yang layak dan manusiawi. Bukan hanya dianggap layaknya sapi perah yang dipaksa untuk bekerja terus tanpa mendapat penghargaan yang layak, bahkan terkadang hanya diupah dengan nasi rantang ala kadarnya, diluar omelan keluarga pasien yang juga biasanya dihadapi oleh para dokter muda dan residen.
Ada hal unik yang saya temui saat pertama kali datang ke sini. Saat melihat banyak dokter yang memakai pakaian dinas koas (kerah-leher). Ternyata di jepang, bukan baju yang dikenakan yang menjadi pembeda, tapi hanya di kartu identitas. Untuk dokter kartu identitas bewarna biru, pink untuk perawat, hijau untuk pegawai administrasi/teknisi medis/teknisi laboratorium, merah untuk satpam/CS, dan kuning untuk mahasiswa kedokteran. Jadi tidak usah heran kalau melihat perawat memakai baju koas, atau teknisi medis memakai jas dokter. Jas dokter pun juga hanya seperti jas laboratorium (yang panjang sampai ke lutut).
Selain masalah pakaian, hal menarik lainnya adalah mengenai bahasa. Saat awal datang ke JMU, saya pikir dengan bahasa inggris saja sudah cukup, ternyata tidak juga. Orang jepang, walaupun banyak publikasi tulisan di jurnal2 internasional, tapi ternyata bahasa inggrisnya tidak lebih bagus dari bahasa inggrisnya orang Indonesia. Mereka memang hebat di bagian passive English, tapi tidak begitu piawai di bagian active English. Tidak heran, karena sedari kecil jarang berbahasa inggris. Buku-buku yang di jual atau film2 yang beredar hampir semuanya sudah di terjemahkan ke bahasa jepang. Dan yang paling membuat pusing adalah, istilah kedokteran juga semua dalam bahasa jepang. Ambil contoh dalam bidang cardio, UAP = fuanteikyoushinyou, infark miokard akut = shinkinkousoku, stroke = noukosoku, DM = tonyoubyou, hipertensi = kouketsuatsu, hemodialisa = touseki. Belum lagi dengan anatomi seperti atrium = shinbou, ventrikel = shinshitsu, aorta = daidoumyaku, jantung = shinzou, ginjal = jinzou. Bahkan untuk alat kedokteran seperti stetoskop pun, mereka sebut dengan choushinki (itu semua diluar aksara/huruf hiragana-katakana-kanji yang mereka gunakan). Jadi, mau tidak mau, terpaksa harus belajar lagi bahasa jepang, jika tidak ingin kebingungan sendiri saat ada presentasi kasus, atau presentasi lainnya. Sebenarnya ada positif ada negatifnya. Positifnya, mereka jadi bisa menjaga keutuhan budaya bahasa, yang tetap bertahan sampai sekarang. Walaupun sudah termasuk negara modern, tapi mereka tidak melupakan budaya mereka. Kebalikan dengan Indonesia, yang sekarang sudah banyak disusupi istilah alay dan bahasa Indonesia yang campur sari dengan bahasa inggris, sehingga budaya asli bahasa Indonesia jadi mulai hilang sedikit demi sedikit. Banyak orang tua di Indonesia yang bangga jika anaknya sedari kecil sudah bisa berbahasa inggris. Masyarakat jepang, walaupun tidak mahir berbahasa inggris tapi toh dengan bahasanya bisa menguasai dunia, tidak harus memaksa anak-anaknya untuk belajar berbahasa inggris dari kecil. Negatifnya, orang jepang jadi agak susah membangun komunikasi dengan orang asing. Tapi tak masalah, sepanjang bisa mengerti satu sama lain.
Eijiro Sugiyama Edison, MD
Division of Cardiovascular Medicine
Jichi Medical University, Japan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H