Internship, dilema dokter baru di Indonesia
[caption id="attachment_246008" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (kompas.com)"][/caption]
Program dokter magang atau yang lebih kita kenal dengan istilah internship, akhir-akhir ini menjadi topik yang begitu banyak dibahas khususnya oleh para dokter tamatan baru di Indonesia. Suatu program yang dirancang sedemikian rupa yang mewajibkan para dokter yang baru tamat untuk magang di rumah sakit daerah dan puskesmas-puskesmas yang telah ditetapkan oleh kolegium dan konsil kedokteran Indonesia selama lebih kurang satu tahun (terdiri dari delapan bulan di rumah sakit dan empat bulan di puskesmas). Menarik untuk mengamati fenomena internship ini, mengingat ada begitu banyak pro dan kontra tentang perlu atau tidaknya para dokter baru menjalani program ini, tentang bagaimana hak dan kewajiban para pelaksana internship, dan hal hal lainnya.
Dalam pada ini, program dokter internship sendiri bukanlah suatu program yang baru. Di Indonesia, program ini memang baru dijalankan (dilaksanakan pertama kali di Indonesia oleh dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang angkatan 20041), terkait dengan adanya perubahan kurikulum pendidikan kedokteran Indonesia yang mengacu pada Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) III2, dimana salah satu perubahannya adalah dengan diadakannya suatu sistem pembelajaran yang disebut PBL (Problem Based Learning). Para dokter lulusan KIPDI III diharapkan akan menjadi dokter layanan primer yang berorientasi dokter keluarga. Dan untuk mengimplementasikan rencana ini, dibentuklah suatu program bernama internship, sesuai peraturan menteri kesehatan RI No.299/Menkes/Per/II/20103. Di negara lain, seperti Amerika Serikat, program ini sendiri sudah dimulai sejak akhir abad ke-19, dan terus mengalami penyesuaian seiring berjalannya waktu. Tapi intinya tidak berubah, internship berarti periode magang setelah meraih gelar dokter4.
Jepang sebagai salah satu negara maju juga sudah menerapkan program internship untuk dokter-dokter yang baru tamat sejak lebih kurang 10 tahun yang lalu. Rata-rata dokter tersebut menjalani internship selama 2 (dua) tahun. Fase ini dikenal dengan istilah jyunia residento (Junior resident). Pada tahun pertama disebut J1 (J-one) dan tahun kedua disebut J2 (J-two). Semua dokter yang baru tamat di jepang wajib menjalani periode ini. Khusus untuk lulusan JMU (Jichi Medical University) di kota Tochigi, para dokter yang baru tamat, diwajibkan untuk kembali ke daerah asal masing-masing untuk menjalani internship selama 9 (sembilan) tahun. JMU mendapat perlakuan khusus dari pemerintah Jepang, karena semua mahasiswa kedokteran disini merupakan wakil dari daerah yang dibiayai penuh oleh pemerintah daerahnya masing-masing mulai dari awal kuliah sampai tamat menjadi dokter, sehingga ada kewajiban untuk mengabdi di daerah asal selama sembilan tahun setelah tamat dan meraih gelar dokter dari JMU. Setelah selesai menjalani masa internship dua tahun ini, kemudian masing-masing dokter dibebaskan memilih, apakah ingin menjadi klinisi atau peneliti di laboratorium. Dengan dukungan dana penelitian yang melimpah dan adanya penghargaan khusus terhadap para “researcher”, tidak sedikit pula yang memutuskan untuk menjadi peneliti yang nantinya akan bekerja penuh di laboratorium.
Sebenarnya program Internship ini sendiri terasa sangat bermanfaat, karena disinilah fase pematangan diri menjadi dokter yang sebenarnya. Pada masa inilah kita memiliki kesempatan untuk belajar cara menangani pasien dengan baik, melakukan manajemen holistik pada pasien, memilih terapi yang sesuai dengan klinis pasien, dan meningkatkan skill dan kompetensi dibidang kedokteran. Dan secara tidak langsung juga menjadi tempat untuk mempersiapkan mental supaya tidak “gamang” nantinya saat bekerja langsung di masyarakat. Karena jujur, pada kenyataannya praktek di lapangan akan sangat berbeda dengan pada saat masa-masa kuliah, demikian pula hal nya pada masa menjalani kepaniteraan klinik atau co-ass/dokter muda. Meskipun saat magang di klinik sebagai dokter muda, kita dihadapkan pada berbagai kasus yang ada, namun pada prakteknya tidak begitu banyak kesempatan untuk dapat melakukan manajemen pasien dengan baik dan menyeluruh, disamping jumlah dokter muda yang juga terkadang tidak ideal untuk berjalannya sebuah siklus sehingga tidak begitu “full” dalam mempelajari semua kasus yang ada di bagian atau rotasi yang sedang dijalani. Layaknya simbiosis mutualisme, program internship ini bermanfaat bagi semua pihak. Bermanfaat bagi peserta internship khususnya dan bagi wahana internship serta masyarakat pada umumnya.
Tidak ada yang salah dengan internship. Secara teori, ini adalah program yang bagus. Namun sayang, implementasinya di lapangan terkadang jauh berbeda dengan apa yang diharapkan, sehingga wajar jika banyak penolakan untuk menjalani program ini. Contoh pertama dari sisi penghasilan. Saya tidak mau munafik, tapi semua pasti butuh uang untuk biaya hidup. Walaupun dokter bertugas mengabdi pada masyarakat dan merupakan penyedia jasa bidang sosial, yang bagi sebagian besar masyarakat akan dianggap tidak etis jika dokter lebih mementingkan penghasilan diatas tugasnya sebagai pengabdi masyarakat, namun pada akhirnya dokter tetaplah manusia biasa yang butuh uang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Bukan untuk hidup matrealistis, tapi untuk mendapatkan hidup yang “layak”. Saya sebenarnya tidak mau membandingkan masalah penghasilan, tapi memang inilah realita yang ada. Saya ambil contoh di Jepang. Di sini, para dokter tamatan baru yang notabene dokter internship, diberi penghasilan, yang jika di kurskan ke rupiah, berkisar Rp20 (dua puluh) juta perbulan, diluar upah dinas jaga sebesar Rp2juta per shift. Meskipun internship masih dalam fase “belajar”, toh secara tidak langsung mereka bekerja untuk wahana dimana mereka ditempatkan. Efeknya, para dokter tersebut bisa fokus bekerja dari pagi sampai malam tanpa perlu memikirkan hal lain diluar tugas pokok dokter, memberikan pelayanan maksimal untuk pasien. Walaupun biaya hidup di jepang termasuk tinggi, tapi dengan penghasilan seperti itu sudah jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di Indonesia, bahkan UMR buruh DKI Jakarta per bulannya lebih tinggi dari gaji/BHD (Bantuan Hidup Dasar) para dokter internship yang hanya berkisar Rp 1.3 juta/bulan, itu pun masih ada hambatan berupa pembayaran yang sering telat, kalau tidak mau dibilang sering dirapel per tiga bulan. Bukan hal yang aneh rasanya jika kita mendapatkan hak atas kewajiban yang sudah kita lakukan. Ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan dokter di Indonesia dan seringnya media memberitakan pelayanan dokter Indonesia yang tidak sebagus negara tetangga, menjadi imbas atas rentetan kenyataan ini. Sayang, kebanyakan masyarakat dan media hanya melihat dari satu sisi sahaja.
Contoh lainnya dari sisi kejelasan kerja antara peserta internship dengan dokter pendamping dan dokter senior yang berada di wilayah kerja yang sama. Tidak ada pembagian tugas yang jelas dan tertulis antara internship dan pendamping. Tugas dan tanggung jawab antara kedua belah pihak seperti terus berada dalam wilayah abu-abu. Tak jarang, internship dijadikan tempat untuk melepaskan tanggung jawab, dibebani kerja yang begitu banyak dengan dalih dokter internship adalah dokter yang baru tamat yang masih butuh banyak pengalaman. Walaupun tidak semua pendamping dan dokter senior yang berbuat demikian. Banyak yang menyangkal, tapi memang inilah yang terjadi di lapangan. Terkadang karena ada dokter internship, dokter senior sering tidak berada di tempat dan otomatis semua pekerjaan yang harusnya lakukan dokter senior dilimpahkan ke internship. Apakah alasan ini ada hubungannya dengan masalah penghasilan yang disebut di atas, yang memaksa para dokter mencari penghasilan tambahan diluar tempat tugas utama atau ada alasan-alasan lainnya, saya juga tidak bisa memberi jawaban. Internship secara harfiah berarti masa transisi, dimana dibutuhkan bimbingan dan support dalam bekerja, bukan malah begitu saja dibiarkan bekerja sendiri tanpa ada pengawasan. Kembali saya ambil contoh di jepang. Internship disini dibimbing penuh oleh konsulen dibagian yang bersangkutan. Misalnya di bagian jantung dan pembuluh darah (Jyunkanki-Naika) di RS JMU. Disini, penanganan pasien dibagi berdasarkan tim, dimana satu tim terdiri dari 1 orang dokter muda, 1 orang junior residen, 1 orang senior residen, dan 1 orang spesialis/konsulen, yang bertanggung jawab terhadap lebih kurang 5-10 orang pasien. Dalam melakukan manajemen pasien, junior residen tidak dilepas begitu saja, tidak dibiarkan dalam kebingungan. Semua dibimbing dan diawasi. Pada akhirnya junior residen akan mendapat pembelajaran yang benar, melakukan manajemen pasien dengan benar dan berkesinambungan. Bukan manajemen “kira-kira” yang membuat para internship menjadi kebingungan sendiri, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan rasa ketidakpuasan oleh pasien yang datang berobat. Senada dengan itu, tidak adanya persamaan beban kerja antar wahana internship sering menimbulkan kerancuan dan keengganan untuk menjalankan program ini. Misalnya di daerah A, dokter internship diwajibkan kerja di poliklinik, jaga bangsal, dinas jaga, kerja 6 hari dalam seminggu. Di daerah B, dokter internship hanya masuk kerja 5 hari seminggu tanpa ada jadwal tugas di poliklinik, dll.
Dengan berbagai masalah diatas, wajar rasanya jika banyak yang menginginkan penghapusan program internship karena dinilai tidak memberi manfaat. Saya juga tidak memungkiri, ada banyak juga hambatan dalam program internship ini yang justru muncul dari peserta internship itu sendiri. Seperti tidak serius dalam bekerja, etos kerja yang rendah, atau juga hal-hal lainnya. Tapi itupun hanya bersifat personal, bukan secara keseluruhan. Memang internship di Indonesia termasuk program yang baru, yang tentu butuh waktu dan adaptasi untuk bisa berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Paling tidak dimulai dari penyamaan visi dan misi tentang apa dan bagaimana program internship, hak dan kewajiban dokter internship maupun dokter pendamping internship, dan tentunya yang tidak kalah penting adalah mengenai BHD. Tidak perlu rasanya harus sama seperti negara-negara lain, tapi minimal bisa memenuhi standar hidup yang “layak” untuk resiko dan beban kerja yang dihadapi para dokter internship. Terakhir, saya mohon maaf seandainya tulisan ini kurang berkenan. Saya hanya berharap, kiranya program ini bisa menjadi lebih baik lagi dimasa mendatang. Tidak semudah membalik telapak tangan, tapi semoga dengan dukungan dan pengertian dari semua “stakeholder” yang ada, program internship ini bisa menjadi lebih baik lagi dan dapat memberi manfaat untuk semua, baik bagi peserta internship itu sendiri, dokter pendamping internship, wahana tempat penyedia program internship, dan khususnya bagi masyarakat sebagai pemakai dan pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Eijiro Sugiyama Edison, MD
Division of Cardiovascular Medicine
Jichi Medical University
Tochigi-Japan
Dokter internship RSUD Pariaman dan Puskesmas Naras Pariaman
Sumatera Barat, Indonesia
Periode 31 maret 2010 – 1 april 2011
Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H