Tulisan sebelumnya tergambar bahwa sesuatu unsur budaya tidak dapat dilupakan begitu saja, bahkan cendrung melekat dan membekas. Hal ini juga yang membawa penulis ke dalam tatanan sejarah yang lebih kuat, serta condong kepada realitasnya. Sehingga tulisan kebesaran budaya ini tercipta. Banyak tulisan tulisan tentang budaya bali telah dipublish, namun ini dengan pandangan penulis sendiri. Mungkin semua tidak berlangsung dalam waktu yang singkat, perlu perputaran waktu untuk ini terjadi dan terus teraplikasikan.
Berdasarkan Akulturasi sejarah budaya tentang perkembangan budaya hindu Buddha yang masuk ke indonesia, menghasilkan perpaduan yang baik pada saat sekarang. Perpaduan tersebut menghasilkan budaya baru tampa menghilangkan unsur unsur asli dalam budaya lama. Proses percampuran dengan waktu yang lama antara dua budaya atau lebih yang saling bertemu dan berlangsung dalam waktu kewaktu sehingga saling mempengaruhi. Sejarah kebudayaan Bali terbentuk dan dimulai dengan datangnya orang orang majapahit di Bali, kedatangan tersebut membawa perubahan yang baru bagi masyarakat. Suku dan agamanya menjadi referensi keunikan budaya di Dunia Ini. Khususnya dari segi kehidupan culture social, maupun aplikasi adat yang bersanding dengan agama Hindu Bali. Sangat masuk akal, jika masyarakat Bali masih berpegang teguh terhadap budaya dan agama yang ada, serta cendrung bertahan hingga saat ini. Dimana perkembangan zaman pun, tidak dapat memperngaruhi sedikitpun kebesaran budaya mereka.
Penulis memulai dengan pandangan sederhana saat bertugas di Bali, menggambarkan dasar dasar tentang aplikasi adat yang diterapkan di sana. Hal, dimana setiap hari penulis melihat kegiatan yang dinamakan penyembahan terhadap tuhan, tuhan yang maha esa. Pembahasan kegiatan yang selalu masyarakat jalani setiap harinya, khususnya di tanah indah Lembongan. Bukan hanya kegiatan kehidupan yang didasarkan dunia, melainkan kehidupan ketuhanan menuju akhirat. Disini terlihat, mereka sangat akrap dengan persembahan. Khususnya, didalam penyajian canang atau banten, kegiatan yang dilakukan setiap harinya. Lebih dikenal dengan sembahyang, kesempurnaan sajian yang dilakukan setiap aktifitas kehidupan masyarakat Hindu di Lembongan.
![Wanita dalam Balutan Budaya (Foto : Ehd)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/05/11/p-20160707-163328-591466796023bdf0038b4567.jpg?t=o&v=770)
Kearifan lokal di Desa Lembongan pada dasarnya sama dengan suku yang ada di Pulau Bali, nilai kearifan lokal yang berkembang dan diyakini sebagai perekat sosial yang kerap menjadi acuan dalam menata hubungan kerukunan antara sesama umat beragama di Desa Lembongan. Diantaranya, Nilai kearifan lokal Tri Hita Karana atau dikenal dengan suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan Tuhan (sutataparhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutatapawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan lingkungan alam (sutatapalemahan) dalam hal ini terkhusus tumbuhan dan pohon. Nilai kearifan lokal tersebut telah mampu menjaga dan menata pola hubungan kehidupan, yang berjalan sangat dinamis. Menurut Pak Ikun, “bagi masyarakat hindu Bali, banten merupakan kegiatan penyempurnaan meditasi yang ditujukan kepada tuhan Hwiang Widi. Perwujutan keagungan tuhan yang disajikan dari berbagai rupa, salah satunya dengan Canang/banten dan inilah yang menjadi kesempurnaan setiap peribadaan yang dilakukan.
Berdasarkan data Wikipedia Indonesia Canang sari merupakan upakāra (perlengkapan) keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai Pura), tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi. Canang sendiri merupakan salah satu bentuk banten atau "persembahan". Dari segi penggunaan, bentuk, dan perlengkapannya, canang dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain Canang Genten, Canang Burat Wangi, Lenge Wangi, Canang Sari, dan Canang Meraka.
Canang berisi buah, nasi, permen, dupa dan beberapa bahan bahan yang dianggap perlu untuk disajikan setiap harinya. Bahkan disaat saat, upacara penting. Sosok wanita menjadi perwujutan tersendiri, dari sebuah sajian. Menurut salah satu orang tua bernama Ibu Sluti “wanita suku Bali lebih ribet dari pada wanita wanita pada umumnya, banyak sajian setiap hari yang harus dilakukan untuk ratapan sebagai proses berjalannya kehidupan. Penyajian canang dilakukan setiap harinya, selain dari pada itu biasanya ada juga dilakukan untuk Purnama, Tilam, Tumpek, Buda Cemong, Buda Cliwon, dan Anggar Kasih. Ditambah untuk perayaan galungan, yang banyak menghabiskan banten/canang. Menurut data Wikipedia Simbolisme dari bagian-bagian penyusun canang, selain penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
Ceper
Ceper adalah alas dari sebuah canang yang memiliki bentuk segi empat dan melambangkan angga-sarira (badan). Keempat sisi ceper melambangkan pembentuk angga-sarira, yaitu Panca Maha Bhuta, Panca Tan Mantra, Panca Buddhindriya, dan Panca Karmendriya. Canang yang dialasi ceper merupakan simbol Ardha Candra, sedangkan yang dialasi oleh tamas kecil merupakan simbol dari Windhu.
Beras
Beras atau wija melambangkan Sang Hyang Ātma atau yang membuat badan mejadi hidup, melambangkan benih di awal kehidupan yang bersumber dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ātma.