Tunjuk melayu sebagai amanah
Bila melayu tak mau hanyut, tunjuk ajarnya hendaknya ikut
Supaya melayu tetap terpuji, tunjuk ajarnya pemayung diri
Supaya melayu tak hilang muka, tunjuk ajar hendaknya dijaga
kutipan dari buku tunjuk ajar melayu karangan datok Tenas Effendi ini, membangkitkan muka kita. Pada dasarnya sudahlah sangat jelas, memberikan etikat sederhana tentang raga dan hati seorang melayu, yang menjadi panutan kebesaran salah satu budaya melayu di Indonesia. Namun kebesarannya mulai hilang, yang di identifikasi dari penggunaan Bahasa melayu di tanah melayu itu sendiri. Bahasa melayu yang mulai tergerus, oleh perkembangan zaman.
Sebelum mengupas pada pembahasan Bahasa yang mulai hilang di tanah melayu, baiknya kita bercermin dari fakta sebuah kutipan. Berdasarkan data dalam beberapa waktu kebelakang budaya melayu sebagai salah satu budaya yang besar, serta merupakan budaya yang mempengaruhi perkembangan bangsa Indonesia. kebudayaan Melayu dalam kaitannya dengan sistemik tragedi dalam novel dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata. Novel tersebut memberikan warna baru terhadap kebudayaan Melayu. Hal ini yang menunjukkan bahwa kebudayaan itu tidak statis tetapi dinamis dan kebudayaan itu akan membentuk pola seseorang dalam pergaulannya di masyarakat (Herkovits dalam Soekanto, 1993: 165).
Hal yang tidak kalah penting untuk dikupas petama, kemunduran penggunaan Bahasa melayu tersebut sebagai Bahasa ibu mereka. Sebagai visualitasasi sederhana, mereka yang berasal dari suku melayu sudah sangat kropos dengan penggunaan sederhana Bahasa melayu. Alat komunikasi yang seharusnya digunakan dalam percakapan sederhana, ataupun Bahasa sehari sehari tidak teraplikasikan lagi.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan syarat seorang melayu kutipan ke dua, dimana berbunyi seorang dikatakan melayu tentu berbahasa melayu. Dapat kita ambil contoh di Ibu kota provinsi Riau, Pekanbaru dengan selogan the homeland of melayu. Symbol ini sudah terlemahkan dari segi Bahasa, dalam kehidupan sosial masyarakat sendiri sudah terjadi penurunan. Mereka lebih tidak malu menggunakan Bahasa Jakarta yang cenderung bukan Bahasa ibu mereka.
Selain itu juga, Bahasa yang berkembang sampai dengan detik ini di Kota Pekanbaru yakni Bahasa minang. Dengan peningkatan jumlah masyarakat dari suku minang di Pekanbaru yang berbanding lurus dengan perkembangan bahasanya. Bahkan yang membuat terlihat buruk, bukan hanya masyarakat minang saja yang menggunakan Bahasa tersebut, tetapi juga masyarakat berasal dari suku melayu sendiri ikut berbahasa tersebut. Kondisi sederhana dapat dilihat saat kita belanja suatu barang di kios kecil di Kota Pekanbaru, sebagian masyarakat akan lebih pede menggunakan Bahasa minang sederhana “bali balanjo ciek” ini yang terdengar. Mereka seakan lupa, sedang berada di Homeland of melayu yang menjadi symbol besar, hingga dapat kita lihat terpampang di depan Kantor Gubernur Riau.
Kondisi penting selanjutnya yang perlu dibahas, dalam kemunduruan budaya Bahasa melayu. Terbelakangnya sumberdaya melayu sendiri, atau lebih tepatnya kemunduran aplikasi budaya yang membuat Bahasa melayu mulai di telan bumi oleh orang melayu sendiri. Menurut datok Al Azhar yang merupakan ketua LAM Riau, kemunduran Bahasa dipengaruhi oleh kemunduran sumberdaya melayu sendiri, persepsi sederhananya Bahasa melayu sudah mulai ke belakang tanah, tidak lagi tampil di depan.
Masyarakat hanya berani menggunakan Bahasa melayu di kampung halaman mereka, tetapi untuk di kota Pekanbaru mereka cenderung takut untuk berkomunikasi menggunakan Bahasa melayu mereka. padahal sederhana saja, cukup dengan kembali kebahasa Indonesia saja kita sudah berbahasa melayu. Kononnya Bahasa melayu menjadi referensi nyata asal muasal Bahasa Indonesia. hal ini tidak dapat ditampik dari kehidupan melayu asli, tuturan konsonan dan runutan kata sederhana Bahasa melayulah yang mendekati dengan Bahasa Indonesia terdahulu.