modern saat ini, banyak negara mengagungkan demokrasi. Demokrasi dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan yang baik. Ciri khas demokrasi terletak pada tangan rakyat yang menjadi kekuasaan tertinggi.
Di eraNamun, di era Yunani kuno, pandangan terhadap demokrasi tidak seperti yang kita pikirkan sekarang. Demokrasi dianggap sebagai rezim keburukan. Salah satu sistem dalam demokrasi adalah pemilihan umum untuk mencari pemimpin. Hal inilah yang dikritik oleh filsuf Plato. Plato sangat menolak untuk menerapkan sistem pemerintahan demokrasi.
Alasan Plato menolak sistem pemerintahan demokrasi dipengaruhi oleh kematian gurunya, yaitu Socrates. Sepanjang sejarah filsafat, pengadilan drama Socrates pada tahun 399 SM merupakan salah satu peristiwa yang sangat berpengaruh. Keputusan untuk menghukum mati Socrates atas tuduhan murtad terhadap agama-agama tradisional (kepercayaan terhadap dewa-dewi) dan meracuni pemuda-pemuda Athena dengan pemikirannya yang radikal, telah menciptakan gelombang kontroversi dan perubahan dalam masyarakat pada saat itu.
Yang dikritik oleh Plato di sini adalah pemilihan umum (voting). Bagi Plato, keputusan yang dibuat oleh suara mayoritas belum tentu benar. Hal ini terbukti dalam pengadilan Socrates. Socrates yang tidak bersalah namun dinyatakan bersalah oleh juri dan rekannya.
Hasil keputusan dalam pengadilan Socrates, di mana 280 juri menyatakan Sokrates bersalah dan dihukum mati, sedangkan 221 juri menyatakan Socrates tidak bersalah. Namun dalam sistem demokrasi, suara terbanyak menjadi pemenang. Pertanyaannya, apakah suara terbanyak ini mampu mengambil keputusan yang benar dan tepat.
Mari kita sama-sama melihat demokrasi kita saat ini...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H