Polis Athena sangat mengagungkan demokrasi, tetapi menurut Plato demokrasi menjadi wabah yang merusak bagi masyarakat. Alasan Plato tidak menyetujui sebuah negara menganut sistem pemerintahan demokrasi karena gurunya yang bernama Socrates dibunuh dengan tuduhan palsu. Orang-orang Athena sangat membenci gurunya dan mencari kesalahan untuk menjebloskan dia ke ruang pengadilan dengan berdalih gurunya memberikan gagasan keliru terhadap kaum muda. Salah satu tuduhannya yaitu Socrates bersalah, karena ia tidak percaya pada dewa-dewa yang diakui oleh polis dan memasukan praktik-praktik religius yang baru,”[4]
Saat putusan perkara Socrates berlaku, ia diminta oleh hakim-hakim untuk meninggalkan Kota Athena sebagai pembebasan atau penebusan atas tindakan Socrates. Tetapi Socrates mati-matian untuk menolak tawaran tersebut karena Socrates lebih mencintai kota asalnya Athena. Dalam sidang berlangsung 280 yang menyatakan socrates telah berbuat salah sedangkan 220 yang menyatakan Socrates benar. Berdasarkan aturan sidang orang Athena, suara mayoritas menjadi menjadi penentu keputusan. Hasil dari keputusan para hakim Socrates bersalah dan harus dihukum mati yaitu dengan cara meminum racun di depan para sahabatnya.
Plato melihat situasi ini, menilai sebegai sebuah kelemahan dan cacat dalam tubuh demokrasi. Menggunakan cara voting atau hak pilih yang mana keputusan mayoritas menjadi kebenaran mutlak. Bagi Plato suara mayoritas tidak menentukan kebenaran. Ini menjadi momentum yang menyeramkan bagi plato selama hidupnya. Berdasarkan sejarah kota Athena pernah mengalami kehancuran dalam sistem pemerintahan. Di saat situasi ini, Plato berharap untuk pemulihan demokrasi bagi polis Athena tetapi melihat kematian gurunya menjadi sia-sia dalam rezim demokrasi.
Jalan satu-satunya menurut Plato adalah dengan cara mendidik dalam lingkungan academia. Calon pemimpin didik dengan sangat keras dan sungguh dididik. Plato mengungkapkan bahwa untuk menyiapkan calon pemimpin, metode pembelajaran yang digunakan perlu mengarah pada pusat jati diri manusia, yaitu jiwa. Hal tersebut karena jiwa mempunyai karakteristik elastis dan mudah untuk dibentuk. Maka, pendidikan hendaknya memiliki visi yang jelas mengenai cara menyentuh dan mengarahkan jiwa anak didik menuju tujuan dan cita-cita. (A. S. Wibowo, 2017). [5]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H