Imam al-Ghazali lahir di kota Thus, Khurasan, pada tahun 1058 M dan meninggal di kota yang sama pada tahun 1111 M. Beliau dikenal sebagai seorang Teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir, ahli tasawuf, pemikir politik, serta mendapatkan gelar Hujjatul Islam dan Amirul Muslimin. Karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, mencerminkan pemikiran luas dalam berbagai disiplin ilmu seperti Tafsir, Hadist, Fiqh, Filsafat, dan Politik. Pada masa hidupnya, al-Ghazali mengajar di Nizamiyah dan menjadi ilmuwan yang disegani di Baghdad.
Nasib al-Ghazali tidak selalu menyedihkan. Kekecewaannya terhadap situasi dunia Islam Timur sedikit terobati dengan perkembangan politik di dunia Islam Barat. Di Afrika Utara, ia bersahabat dengan pendiri Kerajaan Murabithin dan Muwahidin. Manusia memiliki kebutuhan sosial dan interaksi serta membutuhkan keturunan untuk kelangsungan hidup dan saling membantu memenuhi kebutuhan dasar.
Al-Ghazali menghubungkan politik dengan akhlak, yaitu melalui pendidikan, kesucian diri, dan bimbingan. Menurutnya, politik memiliki posisi istimewa dan tujuan hidup manusia terdapat dalam agama dan pengelolaan dunia. Keteraturan agama dan politik harus ada untuk mencapai akhirat.
Negara perlu sumber pendapatan untuk biaya operasional, seperti tunjangan tentara. Al-Ghazali tekankan pengelolaan pendapatan penting utk stabilitas. Kolaborasi ilmuwan, pemikir, politisi, dan penguasa diperlukan untuk menjaga ketenangan rakyat. Al-Ghazali soroti kebutuhan pendapatan dari berbagai sektor untuk pasukan tentara dan stabilitas negara.
Pemimpin muncul secara alami atau dipilih. Kepala negara penting untuk persatuan umat, sementara Amir tanggung jawab regulasi, militer. Â Manusia ingin hidup bahagia dan sejahtera dengan berkorban. Kebahagiaan dan kesejahteraan berkaitan dengan kesenangan, kebaikan, dan fasilitas material. Menemukan makna sejati penting dalam menjalani kehidupan yang layak.
Pemimpin perlu memiliki karakter jujur, adil, kapabel, dan kredibel agar berwibawa dan efektif dalam memimpin negara.Menurut al-Ghazali, pemimpin harus bersatu untuk menciptakan kehidupan yang bermakna melalui kebijakan mereka. Ketaatan kepada pemimpin adalah kewajiban, dan Syariat Islam berlaku untuk dunia dan akhirat.
Al-Ghazali meyakini bahwa politik dan keamanan hanya teratur dengan adanya seorang Imam yang ditaati. Fitnah terhadap penguasa dan Imam akan menyebabkan kekacauan, peperangan, dan kerusakan. Agama dan penguasa dianggap kembar, harus berada dalam keadaan baik. Agama adalah asas dan Imam adalah pemelihara yang tidak boleh absen.
Al-Ghazali menekankan calon Imam harus memiliki sifat alami dan diperoleh, seperti keadilan dan pengetahuan. Menurutnya, enam dari sepuluh sifat pemimpin harus bawaan, termasuk pendengaran dan penglihatan sehat. Indonesia memiliki Presiden Abdurrahman Wahid dengan gangguan panca indra.
Al-Ghazali dan Al-Farabi mempertimbangkan etika dan akhlak dalam negara ideal, koordinasi organ tubuh negara, pembangunan mentalitas masyarakat, serta perbedaan pendapat antara Syiah dan Sunni. Al-Ghazali menunjuk Khulafa al-Rasyidin sebagai pemimpin sah pengganti Nabi Muhammad.
Kepemimpinan terkait erat dengan demokrasi, memilih pemimpin yang mampu memimpin dengan baik adalah hak rakyat. Pemilihan pemimpin harus berdasarkan pada kebutuhan dan keinginan masyarakat. Jika pemimpin dan masyarakat berkomitmen untuk menyelesaikan masalah sosial, rakyat akan memilihnya sebagai pemimpin. Calon pemimpin Indonesia harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, bersikap profesional, dan mendahulukan kepentingan rakyat. Pemimpin efektif diperlukan hadapi tantangan ekonomi, politik, dan sosial.
Goleman membagi gaya kepemimpinan menjadi enam macam: Coercive (cepat), authoritative (visi), affiliative (harmoni), democracy (partisipasi), pacesetting (standar performa tinggi), dan coaching (membangun masa depan). Kandidat presiden perlu karakter ini dalam tugas kepemimpinan di negara dengan populasi lebih dari 200 juta jiwa.