Geger gedhen. Dunia maya sempat diramaikan dengan tagar Peringatan Darurat setelah DPR dikabarkan akan menganulir keputusan MK melalui revisi UU Pilkada. Singkatnya, revisi UU Pilkada dalam hal ini dicurigai dilakukan untuk memuluskan jalan anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang, mencalonkan diri pada Pilkada tahun ini.
Bukan hanya di dunia maya, beberapa waktu lalu massa menggeruduk gedung DPR RI untuk mengawal keputusan MK dan menolak revisi UU Pilkada. Mulai dari mahasiswa, komika, hingga selebritas turun ke jalan. Pada akhirnya, DPR batal merevisi UU Pilkada.
Benarkah Salah 'Satu Keluarga'?
Ramainya tagar Peringatan Darurat yang dilanjutkan dengan aksi massa baru-baru ini cukup signifikan meningkatkan kewaspadaan publik terhadap peristiwa politik. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang hanya berfokus pada praktik politik dinasti yang diduga dilakukan Presiden Jokowi. Padahal, diakui ataupun tidak, bukan hanya Jokowi yang berusaha 'mewariskan' tampuk kepemimpinan kepada keturunannya.
Apakah jika bukan Jokowi Presidennya, praktik politik dinasti tidak akan pernah ada? Mungkinkah jika bukan Jokowi Presidennya, oligarki tidak akan pernah ada menguasai negeri ini?
Bukan bermaksud membela Jokowi, tetapi inilah fakta yang terjadi di Indonesia. Selama kita masih berfokus pada kesalahan personal, negeri ini bakal begini-begini saja. Siklus yang sama akan berulang meski terjadi pergantian wajah pemimpin. Untuk itulah, pembahasan tentang sistem wajib menjadi fokus masyarakat.
Banyak orang berpandangan bahwa 'satu keluarga' telah merusak demokrasi. Namun, bisa jadi justru akibat sistem demokrasilah negeri ini begitu mudah disetir dan dikuasai orang-orang tertentu.
Paradoks Demokrasi
Sistem demokrasi lahir sebagai antitesa dari sistem pemerintahan yang mengagungkan suara kaisar/raja. Dengan jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), demokrasi 'membius' masyakarat seolah rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi atau pemilik kedaulatan.
Bagaimanapun, sebagai sebuah sistem, demokrasi mengadopsi ide kebebasan. Artinya, demokrasi memberikan manusia hak untuk merumuskan berbagai aturan atau kebijakan yang mewadahi prinsip kebebasan tanpa batas. Sementara itu, suara Tuhan tidak mendapatkan tempat utama dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Saat ini, bukan rahasia jika hegemoni oligarki pemilik modal semakin kokoh mencengkeram negeri ini. Dalam sistem yang kering akan nilai ruhiah (spiritual) seperti demokrasi, simbiosis mutualisme antara oligarki dan penguasa tak terelakan. Penguasa membutuhkan dukungan finansial dari pengusaha, sementara pengusaha membutuhkan dukungan politik berupa kebijakan-kebijakan yang menguntungkan. Â Hal ini dibuktikan dengan lahirnya aturan-aturan yang merugikan rakyat seperti UU Omnibus Law Ciptaker, UU IKN, UU Minerba, dan lain-lain.
Aturan-aturan di atas banyak diprotes masyarakat. Namun, penguasa menutup telinga seolah tidak terjadi apa-apa. Jangan heran, sebab dalam demokrasi, suara rakyat hanya diperhitungkan di kotak suara pemilu dan pilkada. Kalau sudah begini, alih-alih rakyat yang berkuasa, negeri ini semakin dicengkeram kekuasaan elite.