Pagebluk pandemi Covid-19 empat tahun lalu merupakan memori kelam yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Tepat 4 tahun lalu di bulan Maret, Covid-19 pertama kali diumumkan ditemukan di Indonesia. Angka kematian menanjak, masyarakat terisolasi. Namun, tenaga kesehatan atau nakes tampil menjadi garda terdepan di tengah pandemi global.
Â
Namun, habis manis sepah dibuang. Usai pandemi Covid-19 berlalu, nasib para nakes yang dulu berjuang malah tak menentu. Awal bulan April 2024 ini, ratusan nakes, tepatnya sebanyak 249 orang nakes dipecat Bupati Manggarai Nusa Tenggara Timur.
Â
Sebelumnya, pada 12 Februari 2024 para nakes ini mendatangi DPRD Manggarai untuk menyampaikan keluh kesahnya sebagai nakes non ASN. Para nakes ini meminta DPRD Manggarai memperjuangkan kenaikan gaji lantaran gaji bulanan yang diterima para nakes relatif kecil.
Â
Diketahui para nakes non ASN mendapatkan gaji per bulan kisaran 600 ribu. Fakta lain yang lebih mencengangkan adalah para nakes yang dipecat pada 1 April 2024 ini belum mendapatkan gaji sejak Januari 2024.
Â
Meski belum jelas apa alasan di balik pemecatan para nakes non ASN ini, tetapi pemecatan ini disinyalir imbas dari aksi nakes mendatangi DPRD untuk menyampaikan aspirasinya.
Â
Nasib nakes, terlebih nakes honorer, di negeri ini masih belum menentu. Terlepas dari ratusan nakes honorer yang dipecat Bupati Manggarai, masih banyak nakes berstatus honorer yang belum mendapatkan penggajian yang layak.
Â
Peran nakes di tengah masyarakat tak diragukan lagi urgensinya. Krisis nakes menandakan alarm kegagalan negara dalam merawat kesehatan publik sebab nakes merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan masyarakat. Jika garda terdepan kesehatan masyarakat tidak mendapatkan hak-haknya secara optimal, maka pelayanan. Kesehatan masyarakat pun tidak maksimal.
Â
Kasus pemecatan ratusan nakes memperparah fenomena krisis nakes di Indonesia. Pasalnya, jumlah nakes di Indonesia masih jauh dari standar WHO. Menurut standar WHO, setiap 1000 penduduk harus tersedia 1 orang dokter. Namun, faktanya di negeri dengan 275 juta penduduk ini, jumlah dokter hanya mencapai 176.110 orang berdasarkan data BPS tahun 2022.
Â
Jumlah total SDM kesehatan di Indonesia saat ini mencapai 1.182.024 orang yang terdiri dari 73,13% tenaga kesehatan dan 26,87% tenaga penunjang kesehatan. Jumlah ini masih jauh dari ketersediaan kebutuhan nakes. Untuk itu, tak berlebihan jika krisis SDM nakes masih menjadi PR bagi Indonesia.
Krisis Nakes Akibat Kegagalan Kapitalisme
Â
Kesehatan seharusnya dipahami sebagai kebutuhan mendasar rakyat serta tanggung jawab negara untuk menyediakannya. Dalam hal ini, negara wajib menyediakan berbagai fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, dokter, nakes, serta perlengkapan lain.
Â
Sebagai satu dari unsur penting pelayanan kesehatan masyarakat, negara wajib menjamin kesejahteraan para nakes. Abainya negara akan kesejahteraan para nakes menunjukkan lepas tangan negara akan nasib para nakes, padahal merekalah orang-orang yang paling berjasa kala Covid-19 mengepung negeri ini.
Â
Permasalahan ini tidak akan selesai jika negara masih menggunakan pandangan kapitalistik dalam memandang masalah kesehatan. Cara pandang kapitalistik menjadikan pelayanan kesehatan sebagai komoditas. Watak sistem kapitalisme mendewakan sudut pandang bisnis dalam segala aspek, termasuk kesehatan.
Â
Cara pandang kapitalistik membuat seolah gaji para nakes menjadi beban keuangan negara. Padahal di sisi lain, rakyat harus membayar iuran bulanan BPJS Kesehatan untuk menjamin kesehatannya sendiri. Dalam hal ini, negara tidak menjalankan tanggung jawabnya secara optimal untuk menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat.
Â
Negara adalah Raa'in
Â
Gambaran negara dalam peradaban kapitalisme jauh berbeda dengan negara dalam sudut pandang Islam. Islam memandang negara merupakan raa'in atau pengurus rakyat. Artinya, negara bertanggung jawab penuh memberi jaminan kepada seluruh rakyat, termasuk jaminan kesehatan.
Â
Dalam Islam, kesehatan adalah kebutuhan mendasar bagi rakyat. Untuk itu, pelayanan yang diberikan negara juga harus maksimal dan optimal karena itulah kewajiban negara. Dalam hal ini, kesejahteraan nakes menjadi perhatian penting karena langsung berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat.
Â
Namun, perlu diingat, kebijakan kesehatan dalam Islam beriringan dengan pengelolaan keuangan sesuai syariat. Pembiayaan sektor kesehatan bersumber dari berbagai pos-pos pendapatan negara seperti hasil hutan, barang tambang, harta ghanimah, fai, kharaj, jizyah, 'usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.
Â
Dengan demikian, kesehatan bukan lagi barang mewah yang hanya bisa diraih orang-orang berduit. Di sisi lain, para nakes pun tersejahterakan dan mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H