Huru-hara isu terorisme memang sempat mengudara sebelum akhirnya tertelan viralnya pernikahan influencer yang dihadiri kepala negara. Meskipun demikian, isu ini tetap saja menarik untuk dikaji dan dikulik. Setidaknya narasi kontra terorisme --yang kemudian dihubungkan dengan radikalisme- semakin mendapakan tempat dan tidak kehilangan urgensitasnya. Tagar-tagar yang mengarah pada pemberantasan terorisme dan radikalisme dari akar-akarnya digaungkan dan beberapa kali menguasai trending media sosial. Tulisan ini tidak akan membahas teori konspirasi di balik aksi terorisme, tetapi narasi yang bergulir dan dampaknya pasca kejadian ini.
Terlepas dari berbagai teori konspirasi di belakangnya, aksi terorisme kemarin cukup membangkitkan opini kewaspadaan terhadap kelompok tertentu. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh kepolisian, aksi ini mengarah kepada kelompok yang mengatasnamakan Islam dan ajaran Islam. Media pun berbondong-bondong menggoreng temuan ini. Dampaknya adalah citra teroris menjadi semakin melekat dengan kaum muslim dan ajaran Islam. Sebanyak apapun pihak yang menyebut bahwa terorisme tidak mempunyai agama, tetap saja apabila terjadi aksi semacam ini muslim lah yang pertama kali dicurigai. Ajaran 'jihad' pun tak luput dicurigai dan dicitrakan sebagai pendorong aksi semacam ini.
Pada dasarnya, Islam tidak pernah membenarkan aksi terorisme. Selain itu, Ustadz Yuana Rian Tresna dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa aksi terorisme sama sekali tidak menguntungkan kaum muslim, justru mencitraburukkan Islam dan perjuangan penegakan syariat Islam. Dengan demikian, apabila ada satu kelompok yang mengatasnamakan Islam dan menganggap aksi teror merupakan bagian dari dakwah Islam maka pandangan kelompok tersebut sepenuhnya keliru dan merugikan.
Bahkan, keberadaan kelompok ini semakin menjadi momentum 'War On Terrorism' yang digawangi oleh AS dalam rangka 'mendistorsi' Islam dan kaum muslim. Istilah 'Islam radikal' pun dimunculkan sebagai bibit terorisme yang ditakutkan akan meledak sewaktu-waktu, seperti bom gereja di Makassar maupun aksi teror di mabes Polri beberapa waktu lalu. Berbagai studi akhirnya merumuskan bahwa radikalisme berawal pemahaman Islam yang intoleran serta semangat penegakan syariat Islam. Jelas, narasi ini jelas merugikan kelompok Islam yang lurus dan berupaya memperjuangkan tegaknya syariat Islam tanpa kekerasan.Â
Seolah muncul di saat yang tepat, narasi 'Islam moderat' terbit sebagai oposisi dari 'Islam radikal'. Seperti yang sudah-sudah, pasca kejadian teror yang mengatasnamakan Islam, narasi Islam moderat kembali diaktifkan. Islam moderat mencitrakan Islam yang toleran dan inklusif dengan perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Ia dicitrakan sebagai Islam yang ramah dan santun serta jauh dari kesan kekerasan.
Pernyataan 'Islam agama damai' juga doserukan seolah menjawab tuduhan citra kekerasan pada umat Islam. Sekalipun ada betulnya, fatalnya pernyataan ini akhirnya juga mendistrorsi ajaran Islam berupa jihad dan qital. Meskipun Islam tidak mengakui terorisme, bukan berarti Islam meniadakan kewajiban qital (memerangi orang kafir) dalam rangka berjihad. Aktivitas qital dan jihad dilakukan untuk menghilangkan rintangan fisik apabila di suatu wilayah dakwah Islam di-blokade. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabat ketika hendak menaklukkan wilayah-wilayah tertentu. Artinya, ajaran jihad dan qital tetap ada dalam Islam, tetapi dengan catatan tertentu dan tidak boleh dipahami serampangan.
Narasi 'Islam moderat' semakin ambigu ketika dihubungkan dengan sikap inklusif terhadap pemikiran di luar Islam. Tak jarang para penyeru Islam moderat meneriakkan toleransi yang keblabasan. Masuk ke gereja dan bernyanyi atau beribadah bersama, misalnya. Aktivitas ini jelas dilarang oleh agama karena batas toleransi dengan non-muslim adalah sebatas masalah dunia, bukan masalah agama atau akidah. Hal ini pada akhirnya mengaburkan Islam sebagai satu-satunya din yang diakui oleh Sang Pencipta. Bahkan mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar saja bisa dicap intoleran. Masih ingat tepuk 'anak shalih' yang dianggap mengajarkan jargon intoleran kepada anak-anak? Â
Dari penjelasan di atas, terdapat satu benang merah yang bisa kita pahami, yakni saat ini kita dihadapkan pada dua kutub muslim yang begitu ekstrem dalam menafsirkan Islam sehingga menghalalkan aksi terorisme serta narasi 'Islam moderat' yang justru begitu rentan dimasuki pemikiran-pemikiran di luar Islam. Dua pemikiran ini akhirnya memiliki persamaan, yakni mendistorsi ajaran Islam yang lurus serta mengkriminalisasi para pejuang penegakan syariat Islam yang berdakwah tanpa kekerasan mengikuti jalan yang dicontohkan Rasulullah saw. Pertanyaannya, mengapa kelompok-kelompok ini ada? Bagaimana seharusnya kita mengambil sikap?
Seorang mujtahid mutlak lulusan al-Azhar, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani, telah mengindra kemunduran berpikir kaum muslim sebagai penyebab kemunduran kaum muslim. Segala yang buram berawal dari ketidakpahaman. Kondisi ini telah terindikasi sejak masa akhir kejayaan Islam beberapa abad yang lalu ketika kaum muslim lambat laun meninggalkan budaya ilmu dan ijtihad (penggalian hukum Islam atas masalah-masalah kontemporer). Kemunduran berpikir ini -salah satunya- meniscayakan kebingungan di tengah umat dalam menyikapi berbagai kemajuan jaman termasuk pengaruh Barat yang saat itu menguat karena sekularismenya. Ada umat yang ekstrem menolak mentah-mentah produk Barat, ada juga yang menerima dengan tangan terbuka tanpa filter yang jelas. Manakah kelompok yang benar?
Tidak ada.
Barat dengan segala kemajuannya saat itu -sampai sekarang- memang memiliki produk yang tidak bisa dipungkiri berpengaruh besar terhadap tatanan dunia. Revolusi industri meniscayakan lahirnya penemuan-penemuan berupa teknologi canggih yang hingga kini dimanfaatkan oleh manusia seluruh dunia. Namun perlu kita sadari bahwa produk Barat terbagi menjadi dua, yakni produk fisik dan produk nonfisik. Produk fisik sudah pasti dapat diindra oleh mata dan dimanfaatkan secara langsung.Â
Terunggahnya tulisan ini hingga dapat dihadirkan di depan pembaca sekalian merupakan satu keuntungan dari produk Barat yang tidak bisa kita pungkiri. Adapun produk nonfisik adalah nilai-nilai dan ideologi khas Barat yang sekular yang disebarkan untuk dapat diadopsi oleh masyarakat dunia, misalnya sekularisme yang di dalamnya memuat kapitalisme, liberalisme, demokrasi hingga pluralisme.
Fakta di atas bersambut dengan kemunduran berpikir kaum muslim sehingga tak heran bila terdapat dua kutub ekstrem yang menolak maupun menerima produk peradaban lain. Kemunduran berpikir ini melahirkan kelompok teror yang mengatasnamakan aksinya sebagai jihad (terlepas dari konspirasi Barat di belakangnya) dan kelompok inklusif yang mengaku paling toleran. Lalu dimana seharusnya kita berpijak?
Menjadi moderat memang diperlukan, tidak terlalu ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Moderat yang saya maksud bukan 'Islam moderat' atau 'Islam wasathiyah' yang istilahnya telah dibajak oleh kelompok tertentu yang tidak memiliki batasan yang jelas, melainkan moderat yang sesungguhnya yakni mengambil sikap sesuai ajaran Islam yang lurus bukan semata reaktif dan emosional. Artinya, kita seharusnya tidak berpijak pada dua kutub ekstrem di atas dan seharusnya memilih jalan lain berstandarkan syariat Islam.
Dalam menyikapi produk Barat misalnya, kita tidak perlu menolak mentah-mentah. Kita boleh memanfaatkan produk fisik yang tidak berkaitan dengan ke-khas-an pemikiran Barat serta tidak melanggar syariat Islam, seperti kecanggihan teknologi. Sebagaimana Umar bin Khattab yang pernah mengadopsi sistem administrasi Persia ketika menjadi Khalifah untuk memudahkan kegiatan pencatatan sipil negara Khilafah saat itu. Atau Rasulullah saw yang dengan senang hati melaksanakan strategi perang ala Persia yang diusulkan Salman al Farisi saat perang Khandaq. Tidak ada ceritanya Rasulullah saw menolak ide tersebut karena itu meniru orang-orang kafir. Rasulullah menerimanya karena ide tersebut hanya tataran teknis serta tidak lahir atau terkait dengan ideologi selain Islam. Dengan demikian, produk fisik peradaban lain tidak perlu ditolak apabila tidak bertentangan dengan syariat, bahkan dapat dimanfaatkan dengan cara pandang Islam.
Adapun terhadap produk pemikiran berupa sekularisme, liberalisme, pluralisme dan segala pemikiran Barat yang bertentangan dengan Islam jelas harus ditolak. Pemikiran-pemikiran semacam ini tidak bisa ditoleransi untuk diadopsi seorang muslim. Dengan demikian, pemikiran Islam harus benar-benar dipahami dan dipertahankan oleh umat Islam dalam segala aspek kehidupan, baikkehidupan privat maupun publik.
Dengan demikian, umat Islam tidak seharusnya berdiri pada kutub ekstrem sebagai pelaku teror terhadap pihak yang tidak layak diteror maupun penyeru nilai-nilai 'moderat' yang justru mendistrorsi ajaran Islam. Sebab dua-dua pihak ini sama-sama berlebih-lebihan dan tidak berjalan sesuai porsi yang ditetapkan syariat Islam. Islam memang mendorong manusia untuk berhukum dengan syariat Islam serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar dalam menentukan langkah. Akan tetapi, dorongan untuk menjalankan syariat bukan berarti menghalalkan aksi teror maupun kekerasan kepada pihak-pihak yang dinilai menghalangi penegakan syariat Islam.
Rasulullah saw mencontohkan metode yang ditempuh dalam menegakkan syariat Islam ketika masih berada di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, ialah dakwah tanpa kekerasan. Bahkan sekalipun disiksa oleh Abu Jahal dan petinggi Quraisy lainnya, Rasulullah dan para sahabat menahan diri dari membalas para pembenci Islam ini dengan kekerasan yang setimpal. Rasulullah saw meminta para sahabat untuk menahan diri dan bersabar hingga Allah turunkan kemenangan melalui tegaknya Islam di Madinah. Demikian seharusnya yang dilakukan umat Islam, yakni proporsional dan berpegang teguh terhadap Islam, dalam hal syariat maupun metode penegakannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H