Terunggahnya tulisan ini hingga dapat dihadirkan di depan pembaca sekalian merupakan satu keuntungan dari produk Barat yang tidak bisa kita pungkiri. Adapun produk nonfisik adalah nilai-nilai dan ideologi khas Barat yang sekular yang disebarkan untuk dapat diadopsi oleh masyarakat dunia, misalnya sekularisme yang di dalamnya memuat kapitalisme, liberalisme, demokrasi hingga pluralisme.
Fakta di atas bersambut dengan kemunduran berpikir kaum muslim sehingga tak heran bila terdapat dua kutub ekstrem yang menolak maupun menerima produk peradaban lain. Kemunduran berpikir ini melahirkan kelompok teror yang mengatasnamakan aksinya sebagai jihad (terlepas dari konspirasi Barat di belakangnya) dan kelompok inklusif yang mengaku paling toleran. Lalu dimana seharusnya kita berpijak?
Menjadi moderat memang diperlukan, tidak terlalu ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Moderat yang saya maksud bukan 'Islam moderat' atau 'Islam wasathiyah' yang istilahnya telah dibajak oleh kelompok tertentu yang tidak memiliki batasan yang jelas, melainkan moderat yang sesungguhnya yakni mengambil sikap sesuai ajaran Islam yang lurus bukan semata reaktif dan emosional. Artinya, kita seharusnya tidak berpijak pada dua kutub ekstrem di atas dan seharusnya memilih jalan lain berstandarkan syariat Islam.
Dalam menyikapi produk Barat misalnya, kita tidak perlu menolak mentah-mentah. Kita boleh memanfaatkan produk fisik yang tidak berkaitan dengan ke-khas-an pemikiran Barat serta tidak melanggar syariat Islam, seperti kecanggihan teknologi. Sebagaimana Umar bin Khattab yang pernah mengadopsi sistem administrasi Persia ketika menjadi Khalifah untuk memudahkan kegiatan pencatatan sipil negara Khilafah saat itu. Atau Rasulullah saw yang dengan senang hati melaksanakan strategi perang ala Persia yang diusulkan Salman al Farisi saat perang Khandaq. Tidak ada ceritanya Rasulullah saw menolak ide tersebut karena itu meniru orang-orang kafir. Rasulullah menerimanya karena ide tersebut hanya tataran teknis serta tidak lahir atau terkait dengan ideologi selain Islam. Dengan demikian, produk fisik peradaban lain tidak perlu ditolak apabila tidak bertentangan dengan syariat, bahkan dapat dimanfaatkan dengan cara pandang Islam.
Adapun terhadap produk pemikiran berupa sekularisme, liberalisme, pluralisme dan segala pemikiran Barat yang bertentangan dengan Islam jelas harus ditolak. Pemikiran-pemikiran semacam ini tidak bisa ditoleransi untuk diadopsi seorang muslim. Dengan demikian, pemikiran Islam harus benar-benar dipahami dan dipertahankan oleh umat Islam dalam segala aspek kehidupan, baikkehidupan privat maupun publik.
Dengan demikian, umat Islam tidak seharusnya berdiri pada kutub ekstrem sebagai pelaku teror terhadap pihak yang tidak layak diteror maupun penyeru nilai-nilai 'moderat' yang justru mendistrorsi ajaran Islam. Sebab dua-dua pihak ini sama-sama berlebih-lebihan dan tidak berjalan sesuai porsi yang ditetapkan syariat Islam. Islam memang mendorong manusia untuk berhukum dengan syariat Islam serta menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar dalam menentukan langkah. Akan tetapi, dorongan untuk menjalankan syariat bukan berarti menghalalkan aksi teror maupun kekerasan kepada pihak-pihak yang dinilai menghalangi penegakan syariat Islam.
Rasulullah saw mencontohkan metode yang ditempuh dalam menegakkan syariat Islam ketika masih berada di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, ialah dakwah tanpa kekerasan. Bahkan sekalipun disiksa oleh Abu Jahal dan petinggi Quraisy lainnya, Rasulullah dan para sahabat menahan diri dari membalas para pembenci Islam ini dengan kekerasan yang setimpal. Rasulullah saw meminta para sahabat untuk menahan diri dan bersabar hingga Allah turunkan kemenangan melalui tegaknya Islam di Madinah. Demikian seharusnya yang dilakukan umat Islam, yakni proporsional dan berpegang teguh terhadap Islam, dalam hal syariat maupun metode penegakannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H