Mohon tunggu...
Egi Sukma Baihaki
Egi Sukma Baihaki Mohon Tunggu... Penulis - Blogger|Aktivis|Peneliti|Penulis

Penggemar dan Penikmat Sastra dan Sejarah Hobi Keliling Seminar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

IDEA 2017 dan Optimalisasi Literasi Digital

11 Desember 2017   15:58 Diperbarui: 11 Desember 2017   16:06 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri keuangan beberapa tahun ini terus tumbuh seiring dengan adanya perputaran keuangan melalui berbagai bisnis dan usaha, juga karena adanya investasi yang terus masuk ke Indonesia. Kaitannya dengan hal tersebut, juga berdampak terhadap keberadaan UKM yang banyak lahir. Berawal dari ide kreatif, para wirausahawan memanfaatkan peluang dan apa saja yang ada di sekitar mereka. Bukan hanya mendapatkan untung untuk diri sendiri, tapi juga memberdayakan dan memberikan lapangan pekerjaan kepada warga sekitar.

Setelah sehari sebelumnya menyelenggarakan kegiatan Danamon Awards 2017 yang telah menghasilkan beberapa wirausahawan sebagai pemenang, keesokan paginya Bank Danamon mengadakan kegiatan Enterepreneur Share bersama para pemenang dari Danamon Awards 2017 yaitu Irma Suryanti dengan usaha Mutiara Handycraft pemenang kategori Best Social Entrepreneur, Nike Lidiyastuti dengan usaha Abon Cakalang pemenang kategori Best Small Entepreneur, Adrian Asharyanto dengan usaha Investree pemenang kategori Best Fintech dan Marshall Pribadi dengan usaha Privy.id pemenang kategori Most Promising Fintech. Tema yang diambil adalah "Fintech Solusi Literasi di Era Digital" yang berangkat dari fenomena perkembangan digital.

Menurut Adrian Asharyanto, industri keuangan belakangan ini, selain dengan adanya perusahaan besar juga memunculkan perusahaan-perusahaan baru. Menurut data statistik World Bank tentang credit gap ada segmen kebutuhan UKM yang belum bisa dipenuhi atau terlayani oleh sektor formal yaitu perbankan dan multi finance. pada tahun 2016 jumlahnya di atas angka 80 milyar USD. Dan kondisi tersebut semakin membesar dan meningkat setiap tahunnya. Sebagai seorang mantan bankers selama 20 tahun yang telah menggeluti dunia perbankan sejak 1998, ia melihat kondisi itu sebagai sebuah peluang untuk membuat startup sendiri. Ia juga melihat perkembangan teknologi dan memanfaatkannya untuk mengakselerasi perbankan.

Pee to pee (P2P) lending sendiri muncul pada tahun 2008 saat terjadi krisis global ekonomi di Amerika yang saat itu Bank menutup kran bagi para calon debitur. Pee to pee (P2P) adalah pasar atau market place yang merupakan sebuah platfrom berfungsi untuk mempertemukan peminjam dengan pemberi modal. Banyak UKM kesulitan mendapatkan pinjaman dari Bank karena tidak adanya jaminan, sedangkan prosedur Bank sendiri memang telah ada aturannya tersendiri yang memang mengharuskan beberapa tahap dan proses harus dipenuhi. Belum lagi UKM tersebut akan ditanya berapa lama perusahan itu berdiri dan apakah sudah mengalami keuntingan. Karena itu pee to pee (P2P) hadir untuk menjadi jawaban dan solusi bagi para pelaku UKM.

Usaha menengah menurutnya adalah usaha yang omset setahunnya berkisar antara 5-50 milyar dan jumlahnya di Indonesia ada sekitar 700.000 dengan kontribusi sebesar 70%. Investree sendiri menjadi alternatif bagi para pelaku UKM yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari Bank. Investre memfasilitasi atau mempertemukan orang yang akan meminjam dengan investor. Dengan begitu intermediasi yang biasa terjadi saat proses peminjaman melalu Bank dapat kita pangkas. Orang pun bisa memilih mau meminjam kepada siapa dan siapa yang akan diberi pinjaman. 

Fintech menurutnya adalah perusahaan berbasis IT yang melakukan jasa keuangan. Kebanyakan orang melupakan unsur IT tersebut, padahal dengan adanya IT itulah yang akan menjamin transaksi menjadi aman. Melakukan tanda tangan secara digital. UKM yang menjadi fokus Investree sendiri adalah UKM golongan menengah yang memiliki kontrak dengan BUMN atau perusahaan multi Nasional, sehingga proses pembayaran bisa terjamin.

Sedangkan Marshall Pribadi menjelaskan bahwa fungsi tanda tangan di kertas ada dua yaitu: Pertama, memastikan bahwa penanda tangan di kemudian hari tidak bisa menyangkal bahwa ia telah menanda tangani dokumen tersebut. Kedua, memastikan agar segala bentuk perubahan yang terjadi pada dokumen setelah ditanda tangani dapat diketahui. Tanda tangan pada aplikasi hand signature berupa oretan tidak dapat memenuhi dua fungsi layaknya tanda tangan di kertas. Bahkan tanda tangan di kertas pun dapat dipalsukan dengan cara di-scan, di-crop,dan copy-paste.

Irma Suryanti (Mutiara Handycraft) Peraih Best Social Entrepreneur & Nike Lidiyastuti (Olahan Cakalang) Peraih Best Small Entepreneur. Dok. Pribadi
Irma Suryanti (Mutiara Handycraft) Peraih Best Social Entrepreneur & Nike Lidiyastuti (Olahan Cakalang) Peraih Best Small Entepreneur. Dok. Pribadi
Perusahan-perusahaan besar dengan begitu banyak proses transaksi tidak mungkin memiliki banyak waktu untuk menggunakan kertas karena pasti akan ada banyak tumpukan kertas sebanding dengan banyaknya proses transaksi atau dokumen lainnya. Tidak mau ribet dan membutuhkan yang praktis, aman tapi tetap memiliki kekuatan hukum. Tanda tangan digital sendiri memiliki kekuatan pembuktian paling tinggi dengan menggunakan aksimetris histografi supaya pesan itu sampai maka harus menggunakan rumus matematika tertentu. Dari situlah sepasang kunci dilahirkan, apapun yang dienkripsi dapat dibuka menggunakan pasangannya. Kunci itu sendiri ada yang bernama private keydan publik key.

Kita tentu tahu bahwa proses penanda tanganan suatu dokumen di perusahan biasanya lama karena harus ada beberapa pihak yang terlibat. Sedangkan terkadang pihak-pihak yang bersangkutan tidak berada di tempat atau sedang berada di luar kota. Dengan aplikasi ini akan memudahkan kita menandatangi berbagai dokumen di mana saja dan kapan saja hanya melalui genggaman tangan Anda. Lebih lanjut menurut Marshall, sebuah perusahaan berkat aplikasi ini jika sebelumnya perbulan mengeluarkan biaya hingga 2 milyar kini bisa berhemat menjadi 200 juta perbulan.

Nike Lidiyastuti sendiri bercerita saat menjalankan usahanya ia mengalami kesulitan ketika ingin membuat mesin untuk proses pengolahan. Saat itu ia membutuhkan modal sebesar 50 juta, ia sempat mengajukan peminjaman modal ke Bank tapi ditolak. Karena kondisi itulah usaha yang ia niatkan sejak tahun 2011 harus mundur 1,5 tahun dan ia pun terpaksa harus menjual sepeda motor serta beberapa benda lainnya untuk membuat mesin tersebut. Begitu juga Irma bahwa saat ia membutuhkan tambahan modal untuk usahanya, ia harus berusaha keras dan banyak bank meragukan karena belum melihat hasilnya. Tapi saat sekarang sudah tahu hasilnya, banyak bank justru percaya padanya.

Semoga dari kegiatan ini akan terus lahir para wirausahawan baru yang mampu berkreasi, inovasi, dan dapat memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Karena itulah perjuangan mereka harus terus diapresiasi dan didukung oleh semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun