Tak terasa saya sudah menunggu 1 ½ jam di kantor pelayanan PLN Pondok Gede pada Rabu, 25 Mei 2011. Sudah mulai bosan rasanya menunggu sambil gemes liat cara kerja staff di kantor cabang salah satu perusahaan pemerintah yang tak ada saingannya itu. Para petugas yang melayani bekerja seakan konsumen mereka hanya satu orang (yang sedang dilayani). Mungkin lupa atau mungkin lagi pake kacamata kuda sehingga tidak melihat konsumen yang menunggu antrian dengan nomer antrian mencapai ratusan. Tiba-tiba ada seorang bapak yang mulai berteriak-teriak di meja pelayanan. Dia bilang sudah menunggu 4 jam tapi tidak dilayani. Para teller (yang semuanya perempuan) kelihatan tidak kaget dengan teriakan itu, juga tidak berusaha untuk menghandle keluhan si Bapak. Bapak tadi terus berteriak sambil langsung mencari ruang Duty Manager. Di ruang Duty Manager tampak bukan hanya satu orang yang menunggu dilayani, ada beberapa orang yang juga harus sabar menunggu sang Duty Manager untuk menjelaskan satu-satu kepada para konsumen yang datang dengan beragam masalah dan pertanyaan. Berukut gambar antrian di ruang Duty Manager. Bapak yang complain tadi terus mempertanyakan mengapa dia sudah menunggu 4 jam tapi tak kunjung dilayani. Dia kemudian menunjukkan kepada Duty Manager bahwa bagaimana pelayanan akan cepat jika jumlah antrian banyak sementara teller yang bertugas hanya 2 orang. Beberapa teller yang bertugas sebelumnya sudah tidak ada ditempat. Mungkin istirahat tetapi mengapa sudah pukul 14.00 belum juga tersedia teller dengan jumlah yang cukup untuk melayani masyarakat yang antri dengan nomer antrian mencapai ratusan (saya sendiri bernomer antrian 162). Bapak yang complain kembali mempertanyakan, mengapa PLN sangat lambat melayani masyarakat, padahal masyarakat membayar mahal (bukan hanya biaya tetapi juga waktu). Si Bapak juga sempat berkomentar tentang kepantasan negara ini yang sulit maju karena kualitas pelayanan penyediaan listrik sangat tidak layak. Bapak yang complain kemudian mencari pejabat yang bertanggung jawab dan mencurahkan keluhannya di ruang pejabat tersebut. Tampak konsumen yang lain mulai berkomentar. Ada yang bilang bahwa kejadian seperti ini hampir tiap hari terjadi. Ada yang berkomentar setuju dengan pelayanan PLN yang luar biasa amburadul, ada yang mengeluh kecapean karena harus menunggu sambil mengasuh anak di ruang tunggu, seperti terlihat pada photo dibawah ini. Tak lama kemudian 2 orang teller masuk ke ruang pelayanan dan mulai melayani kembali, seperti nampak pada photo dibawah ini. Raut mukanya seperti tidak ada masalah. Bahkan teller yang satu dengan santai mendengarkan cerita teman teller yang lain tentang adanya kejadian si Bapak yang complain tadi. Teller pendengar mendengarkan sambil senyum-senyum, padahal konsumen yang antri sudah tidak sabar ingin melihat para teller yang baru masuk itu untuk langsung bisa mengakselerasi penyelesaian pekerjaan pelayanan atas antrian yang panjang itu. Jelas sekali saya amati, hanya 1 teller yang fokus dan serius melayani konsumen dengan tingkat penyelesaian pekerjaan yang lumayan cepat. Teller yang lain seperti tidak punya "passion" dalam bekerja. Sambil tetap menunggu, saya mendengarkan apa yang terjadi. Duty Manager mengeluh bahwa jumlah teller tidak cukup dibandingkan dengan jumlah konsumen yang mengantri. Dari kacamata saya bisa saja saya berargumen bahwa bukannya tidak cukup jumlah staff yang ada, tetapi mereka tidak melaksanakan pekerjaannya secara "proper". Kinerjanya perlu dievaluasi, training pelayanan publik perlu dilakukan, evaluasi kinerja mereka perlu dilakukan dan dijadikan bahan untuk menentukan jumlah take home pay yang mereka akan terima....he.....he......seru kan? Itu baru di meja pelayanan. Lebih prihatin lagi saya melihat petugas satpam di ruang pelayanan yang kerepotan berperan sebagai petugas information desk. Dia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyan konsumen. Yang membuat saya tersenyum, dia juga menuliskan poin-poin persyaratan untuk penambahan daya atau pemasangan sambungan baru. Padahal tersedia photo copyan pojn-poin itu di ruang Duty Manager. Terlihat cara menangani pekerjaan yang tidak terstruktur. Lihatlah peran security sebagai petugas Information Desk pada gambar di bawah ini. Yang membuat saya heran juga, bukankan pekerjaan seperti ini sudah menjadi pekerjaan mereka selama bertahun-tahun? Masa sih tidak bisa mengamati statistik jumlah konsumen yang dilayani tiap hari kemudian dibandingkan dengan strategi peningkatan mutu layanan berbasis analisa dan evaluasi. Masa sih perusahaan sebesar PLN tidak melakukan hal ini? Jika iya, kok dilapangan tidak terbukti yah? Tidak tau apa yang mesti dilakukan? Kan banyak best pratices pelayanan publik yang dapat ditiru dari perusahaan lain. Ah...makin sulit saja saya membayangkan ketidakpercayaan saya atas solusi sederhana yang seyogyanya dipikirkan dan dilakukan oleh para petugas PLN atas seluruh keluhan konsumen. Mungkin paragraph dibawah ini jawabannya. Setelah selesai di counter pelayanan PLN, saya pergi ke kantor AKLI (Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia) yang terletak persis disebelah kantor PLN. Sambil bertanya tentang besar biaya gambar jaminan instalasi daya dan konsuil (sebagai info, biaya tambah daya dari 900 watt ke 10.600 watt adalah sebesar Rp 9.623.500,- yang terdiri dari biaya strum PLN Rp 7.532.000,- dan biaya gambar jaminan instalasi dan konsuil kepada AKLI Rp 2.091.500,-.....mahal yak??) saya sedikit memancing dengan pertanyaan mengapa pelayanan PLN begitu lambat. Eh...para instalatir yang ada di kantor AKLI malah mengiyakan complain saya. Mereka bilang hampir tiap hari liat konsumen marah, ada yg gebrak meja, ada yang teriak-teriak, dll. Mereka juga bilang bukan konsumen saja yang kesal, AKLI sebagai partner juga kesal dengan cara kerja yang begitu lambat. Malahan staff di AKLI ada yang berkomentar:"staff pelayanan publik di PLN manja-manja  bu". Nah lho..... Rasanya komentar yang lengkap dari konsumen maupun dari partner PLN sendiri HARUSNYA jadi bahan untuk evaluasi pelayanan publik di PLN. Tapi menjadi tidak berarti manakala para petuga PLN memang tidak punya sense of urgensi untuk memberikan pelayanan prima yang didasari dengan pola pikir yang amanah. Sulit rasanya berharap petugas PLN di lapangan akan berubah tanpa gebrakan drastis dari pimpinan tertinggi. Kebiasaan minta dilayani dan lupa akan amanah melayani, berpadu dengan posisi monopoly yang dipegang, membuat petugas merasa tidak ada ancaman yang dapat mentrigger peningkatan kualitas pekerjaan mereka agar berfokus pada amanah melayani. Pasti Dirut PLN sudah punya rencana untuk pembenahan. Namun nampaknya reformasi pelayanan publik sudah tidak bisa menunggu terlalu lama untuk segera diakselerasi pengimplementasiannya. Biaya sosial (social cost) yang timbul dari buruknya kualitas pelayanan publik PLN sudah tidak bisa ditolerir. Jadi pilihannya berubah sekarang atau tergilas perubahan. Semoga sukses Dahlan Iskan......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H