Belakangan ini isu media sosial (medsos) menjadi perbincangan hangat khususnya di jajaran kepolisian. Bagaimana tidak, dalam catatan polisi selama tahun 2016, Polri menangani kejahatan dunia maya sebanyak 4.453 kasus. Sebanyak 988 kasus atau sebesar 22% dapat diselesaikan (sumber: detik.com). Meski polisi mengklaim adanya penurunan kasus cyber crime jika dibandingkan tahun 2015, namun di tahun 2016 tren kebencian medsos nampaknya kian meningkat seiring meningkatnya isu SARA di internet.
Polisi kemudian berencana membentuk Badan Khusus Cyber yang konsen memantau perkembangan media sosial. Tentu dengan terbentuknya badan khusus tersebut, diharapkan mampu meminimalisir kejahatan medsos, termasuk penyebaran isu hoax yang selama ini meresahkan masyarakat.
Isu hoax atau berita bohong yang massif terjadi di dunia maya belakangan ini, memang terbukti telah menebar kebencian bahkan tidak menutup kemungkinan akan mengarah pada terjadinya konflik.Â
Tidak bisa dipungkiri memang, bahwa kehadiran media sosial di satu sisi menawarkan berbagai kemudahan bagi para penggunanya untuk mengakses dan men-share informasi secara cepat, mudah dan murah. Namun di sisi lain, ketika penggunaan media sosial berkembang makin liar dan keluar dari batas-batas keadaban, risiko yang terjadi ialah munculnya keresahan dan bahkan tidak mustahil memicu masalah srius.
Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika masyarakat dengan mudah mengunggah berbagai ujaran kebencian, berita hoax dan informasi yang bernada provokatif tanpa bisa dicegah? Para pengguna gadget dengan didukung kemampuan mengakses internet dan memanfaatkan media sosial, mereka tak ubahnya seperti wartawan dadakan yang dapat mengekspos informasi apa pun yang seketika itu pula akan menyebar luas di kalangan pengguna media sosial yang lain. Ini riskan pada rapuhnya komitmen persatuan berbangsa.
Karena itu menyoal ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai salah satu organisasi Jurnalis yang konsen memperjuangkan etika pers, melihatnya sebagai suatu tantangan baru khususnya bagi insan pers, tidak terkecuali bagi masyarakat.
Jika dulu, penyebaran informasi hanya dilakukan wartawan, namun kini semua orang bisa menebar kabar. Karena itu organisasi AJI sebagai salah satu kelompok wartawan yang getol menyuarakan eksistensi jurnalis, kemudian menyampaikan pesan kepada seluruh insan media agar berhati-hati dengan tidak mudah memuat berita tanpa kebenaran yang teruji (sumber: fokusmetrosulbar.com). Pesan itu, perlu penulis teruskan ke seluruh khalayak agar masyarakat paham bahwa tidak semua berita benar dan perlu kecerdasan untuk menelusuri berita di media sosial. Masyarakat perlu meneliti darimana sumber-sumber berita, melakukan chek atau paling tidak punya pembanding dari sumber berbeda.
Perlunya Etika di Medsos
Baru-baru ini, penulis menyaksiksikan bagaimana tindakan kurang elok dilakukan seorang pengguna jejearing sosial facebook dengan memposting seekor binatang (sapi) yang tampak sedang buang koran, sontak kemudian dikomen sejumlah facebookers. Ketika itu, salah seorang pejabat teras yanh dikenal penulis ikut nimbrung komentar dengan ajakan agar semua orang dapat membangun etika media sosial. Itu suatu contoh pencerahan yang baik dilakukan sipejabat itu. Memang perlu saling mengingatkan di media sosial layaknya ketika bertemu langsung.
Soal lainnya yang tidak jarang kita temui di beranda facebook maupun media sosial lain, adalah unggahan foto-foto korban pembuhan dan kecelakaan yang tampak sadis, juga foto-foto vulgar yang secara moral tak pantas untuk dikonsumsi mata publik.
Penulis berkeyakinan bahwa, postingan gambar-gambar amoral dan sadis itu akan membawa dampak langsung maupun tidak bagi masyarakat. Postingan foto-foto bugil misalnya, secara alamiah akan mengundang pikiran jorok atau kemungkinan menebar kebencian karena mengumbar hak privat yang tak layak dipublikasikan. Pada konteks ini, kaum gender (perempuan) menjadi korban utama, selanjutnya adalah anak-anak. Maka tidak heran jika sudah terlulu banyak jenis kejahatan yang dimulai dari media sosial.