Mohon tunggu...
Egga Olivia
Egga Olivia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Aktif Guru, Perisai Penangkal Hoaks

9 November 2017   12:30 Diperbarui: 9 November 2017   19:00 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dokumen Egga Olivia

Berdasarkan infografis data statistik perilaku pengguna internet yang diungkap oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam hasil surveinya menyatakan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta. Selain itu, infografis tersebut juga mengungkap bahwa ada tiga media sosial yang paling banyak dikunjungi yaitu di posisi pertama facebook dengan jumlah 71,6 juta pengguna,  disusul oleh instagram sebanyak 19,9 juta pengguna, dan berikutnya you tube dengan jumlah 14,5 juta pengguna. Sementara itu, untuk konten komersial yang paling banyak dikunjungi adalah 82,2 juta online shop; 45,3 juta bisnis perorangan; dan 1,5 juta lainnya. (www.tekno.liputan6.com)

Data statistik serupa juga diungkapkan oleh Sosialmemos, hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan pengguna twitterurutan kelima di dunia dengan angka 29 juta pengguna dan Jakarta merupakan jumlah pengguna facebook urutan keduadi dunia dengan angka 11.658.760 pengguna.  Sungguh angka yang fantastis. Dari data tersebut menyiratkan bahwa antusias masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial Indonesia sangat tinggi.

Namun, ironinya antusiasme tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Litbang Kompas yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan. Minat baca masyarakat Indonesia baru sebesar 0,001 persen dan rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca 27 halaman buku dalam setahun. (www.kompasiana.com). Bayangkan dalam satu tahun masyarakat Indonesia hanya membaca 27 halaman buku, sedangkan untuk membaca dan mengunggah status di media sosial nyaris setiap hari dilakukan. Minat baca dan antusiasme masyarakat untuk membaca masih dalam taraf membaca teks bacaan hiburan atau bacaan ringan saja.

Dari hasil survei tersebut bisa ditarik benang merah bahwasannya minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah sehingga kemampuan literasinya pun terbatas. Padahal ketika seseorang membaca sebuah informasi dibutuhkan kecermatan dan sikap kritis. Jika hal tersebut dikesampingkan, maka tak bisa dipungkiri jika informasi yang diterima pembaca tidak sesuai. Dengan tingkat pemahaman yang rendah, maka pembaca akan mudah dihasut dengan berita-berita bohong (hoaks) seperti yang akhir-akhir ini kian merebak.

Berbicara mengenai kabar bohong (hoaks). Penyebaran berita bohong di media sosial nyaris tak terkontrol, sementara pengguna medsos tidak semua kritis dan objektif dalam menanggapi sebuah berita terutama para remaja atau anak-anak usia sekolah yang notabene emosinya belum stabil. Studi yang dilakukan Stanford University pada 7.804 pelajar dari SMP hingga mahasiswa perguruan tinggi dan menemukan bahwa mereka tidak mampu mengevaluasi suatu informasi dengan detail. Sebab mereka hanya fokus pada gambar atau judul berita saja, tanpa memperhatikan sumbernya.(www.tribunnews.com). Sementara di sisi lain, judul-judul berita hoaks cenderung provokatif dan bersifat persuasif mengajak pengguna medsos untuk ikut menyebarluaskan. Lagi-lagi ketika tingkat pemahaman terhadap bacaan rendah maka remaja mudah sekali mempercayai berita bohong tersebut dan parahnya mereka pun ikut andil dalam menyebarluaskan berita bohong tersebut tanpa cross cek kebenaran beritanya terlebih dahulu.

Tak bisa dipungkiri perkembangan teknologi yang kian pesat memang tak hanya memberikan manfaat pada penggunanya, namun juga berimbas pada beberapa efek negatif. Salah satunya adalah merebaknya berita hoaks yang dampaknya luar biasa. Hanya bermula dari sebuah berita hoaks ternyata mampu menggiring opini dan menghasut pengguna medsos untuk saling membenci karena perbedaan pendapat. Bahkan kebencian-kebencian tersebut berlanjut dalam kehidupan nyata yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang memang diciptakan beraneka ragam. Melalui berita hoaks beberapa industri makanan dan minuman pun terkena imbasnya. Contoh kasus hoaks pada makanan dan minuman adalah sempat beredarnya pesan berantai yang mengatasnamakan salah satu organisasi kedokteran yang menginformasikan bahwa beberapa produk minuman ternama yang mengandung aspartam dianggap dapat menjadi pemicu pengerasan otak dan sumsum tulang belakang. Isu yang beredar pada tahun 2009 tersebut ternyata masih meresahkan masyarakat hingga saat ini. Tentu saja hal itu sangat merugikan produsen produk minuman yang dicatut dalam pesan berantai tersebut. Padahal isu tersebut sudah dibantah oleh organisasi kedokteran dan juga oleh dokter yang namanya dicatut dalam pesan berantai terebut. Jadi, pada dasarnya aspartam aman dikonsumsi ketika sesuai takarannya.

Lantas langkah apa sajakah yang harus ditempuh ketika remaja kesulitan mengenali sebuah berita berupa fakta ataukah hoaks? Di sinilah pentingnya peran guru dalam memberikan edukasi siswa mengenai cara mengidentifikasi berita hoaks. Guru sebagai sosok teladan terdekat sekaligus salah satu sumber terpercaya terdekat bagi siswa hendaknya ikut membagi informasi mengenai tips mengenali berita hoaks.

Pada umumnya, ciri-ciri berita hoaks dapat kita lihat dalam beberapa hal. Pertama, perhatikan sumber berita. Pada tahap ini, siswa diajak mencermati sumber berita. Jika berita berasal dari situs pribadi (blog) terlebih berita anonim tanpa menyebutkan sumber yang dapat dipercaya, maka pembaca layak mempertanyakan kebenaran berita yang diterima. Beberapa kasus penipuan produk berhadiah biasanya menggunakan situs pribadi blog untuk mengelabui korbannya. Sebaliknya, jika informasi yang diterima berasal dari situs-situs terpercaya seperti situs resmi milik pemerintah, maka pembaca bisa mempercayai informasi yang diterima. Kedua,perhatikan judul berita. Judul berita atau artikel biasanya memang dibuat semenarik mungkin untuk menarik minat pembaca. Hanya saja pada berita-berita hoaks selain judul bersifat menarik juga bernada provokatif dan bersifat persuasif mengajak pembaca untuk ikut andil dalam menyebarluaskan berita tersebut. Ketiga,bergabunglah dengan komunitas media sosial antihoaks. Hal tersebut dilakukan supaya pembaca up to date mengenai informasi hoaks terbaru sehingga tidak menjadi korban.

Langkah-langkah di atas baru sebatas mengidentifikasi sebuah berita hoaks. Lalu langkah nyata apa yang bisa dilakukan seorang guru agar mampu menjadi perisai melawan hoaks?

Follow Medsos Siswa

Dengan adanya berbagai jenis media sosial yang bisa digunakan oleh siswa, maka sebagai seorang guru, kita tidak boleh gaptek.Guru harus mampu mengikuti perkembangan teknologi. Medsos bisa menjadi salah satu media untuk mendekati siswa secara personal dan sekaligus menjadi kontrol guru dalam mengawasi sejauh mana perkembangan siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun