MENCARI MAKNA DI BALIK KISAH PERJALANAN SEBULAN
Oleh : Eugenius Ervan Sardono
Liburan panjang adalah pengalamanmengasyikan dan menyenangkan. Mengasyikan karena disampuli oleh pengalaman menggembirakan dan tidak sedikit pula mengecewakan. Liburan panjang yang membuatku terlena dan hampir terhanyut oleh rayuan duniawi. Namun kendatipun pun terhanyut, namun tidak terlarut. Dari situlah aku bisa mendaki sebuah pengalaman yang baru dalam kamus hidupku. Aku berangkat dari rumah ke malang dengan bermodalkan niat dan kemauan yang tinggi. Aku hanya mengharapkan penyelenggaraan Tuhan yang menyertaiku. Aku merasa bahwa menjadi montfortan ibarat nelayan yang pergi ke laut lepas tanpa membawa apa-apa, melainkan hanya mengandalkan penyelenggaraan Ilahi. Penyelenggaraan ilah begitu sering terjadi setiap hari dalam kehidupanku. Perjalanan panjang dari Labuan Bajo menuju Malang sangat melelahkan. Karena kecapaian, aku beristirahat di Surabaya. Di sana, aku juga menyaksikan pengalaman kota yang begitu indah. Baru pertama kali melangkah ke luar Flores. Pengalaman itu menguatkan langkah kakiku untuk berlangka menuju ke pengalaman panggilan.
Aku yakin aku berada di rumah ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah penyelenggaraan Tuhan. Aku datang dan tiba dalam keadaan yang begitu membaik. Perjalanan dua tahun di rumah Novisiat menjadi batu pijakan menuju Rumah Skolastik di Malang. Bagiku ini adalah ziarah rohani menuju cita-cita yang kutanam sejak kecil. Perjalanan yang menurut orang berani meninggalkan keluarga dan juga kampung halaman. Tetapi aku yakin, aku tidak meninggalkan apa-apa, karena memang aku tak memiliki apa-apa. Aku dari keluarga sederhana yang dididik dan dibesarkan dengan pola sederhana pula. Itulah yang terus kubawa dalam mendaki sebuah cita-cita yang mulia. Kendati pun sudah kaul tetaplah manusia yang rapuh dengan segala kelebiihan dan tidak sedikit kekurangan yang ada dalam diriku. Kekurangan itulah yang menyadarkan aku bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan menuju kehidupan bukan kematian. Ketika aku berjalan dan melangkah satu langkah, itu tanda bahwa masa depan selalu kulalui detik demi detik dan waktu demi waktu kupatri.
“Aku bagaikan harta yang melimpah dalam bejanatanah liat”. Ternyata kaul bukanlah menjadikan aku manusia luar biasa. Aku tetap menjadi manusia biasa yang tetap membawa sifat dan kepribadianku seutuhnya. Dan untuk selamanya saya tidak pernah menjadi malaikat. Kendati pun aku memakai jubah, aku tetap rapuh. Kesadaran itulah yang melahirkan sebuah perjalanan panjang bahwa aku harus terus dibentuk dan diformat terus-menerus. Inilah yang menghiasi harapan bahwa suatu saat, aku harus menjadi manusia yang bisa mengelola diri dengan baik. Sebuah perutusan dari keluarga dan rumah novisiat dengan memuat beban dalam pundaku “Poro lalong rumpok du lakom, lalong rombeng du kolem”. Kata-kata yang syarat makna ini meneguhkanku bahwa aku berlangkah dan tentu ada orang yang mendukungku. Hidup ini seperti kaca spion yang harus terus melihat ke belakang karena kalau tidak, tidak ada dasar untuk berlangkah dan maju. Aku datang ke sini diutus oleh biara untuk studi. Sehingga studi adalah bagian dari perutusan, studi bukanlah segala-galanya. Tentu segala-galanya adalah who am I as biarawan yang hidup dalam spiritualitas Montfortan.
Menginjakan kaki pertama adalah sebuah misi baru dalam hidupku. Aku memang harus menyesuaikan diri di tempat ini. Kalau boleh seperti seorang anak kecil yang baru lahir yang datang, melihat dan mengikuti semua ritme kehidupan yang sudah dibentuk sejak semula dalam rumah ini. Maka aku pun masih kaku dalam pergaulan, perkataan dan juga mengungkapkan apa yang ada padaku. Ada begitu banyak hal baru kalau di novisiat berlaku loncengisasi, segala sesuatu diawali dengan lonceng. Lonseng bangun, lonceng doa, lonceng doa dan sederetan lonceng lainnya. Namun itu semua dihapus dan ditanamkan konsep awereness-kesadaran. Kepercayaan dalam diri tertanam bahwa ini semua adalah proses. Bukankah hasil yang baik harus melewati proses yang baik. Tidak pernah terdengar dan terlintas dalam kupingku bahwa ada hasil yang baik melalui proses yang tidak baik. Sampai di rumah skolastik, aku mendengar akan diadakan kegiatan MOK. Oh…apalagi itu? Rasanya kata itu baru kudengar. Ternyata itu adalah Masa Orientasi Komunitas.
Kegiatan ini dibuka oleh Rm. Leba. Beliau mengafirmasikan ini adalah inisiasi menuju proses yang baik. Ini adalah batu pijakan untuk melangkah ke batu pijakan yang lain. Batu yang satu ini harus dilewati dengan baik, agar batu pijakan yang berikut dilewati dengan baik pula. Dengan dibagikan speda satu per satu menumbuhkan harapan dalam diriku bahwa aku sudah memiliki teman untuk berlangkah kurang lebih selama berada di rumah ini. Harapannya sampai semuanya dilewati dengna baik. Begitu banyak segelumit harapan dari penyampaian Rm. Leba. Ia berbicara banyak hal tentang hidup komunitas. Terlahir sebuah refleksi bahwa di rumah ini memang tidak sama seperti di Novisiat. Dan formator utamanya adalah Tuhan. Lalu sederetan formator lainnya yaitu diriku, teman-teman dan juga orang yang dipilih oleh Tuhan yaitu fortamor yang ada di rumah ini. Mereka semua mendukung perjalanan panggilanku. Dengan bahasa kasarnya formator tidak pernah menginginkan saudaranya, frater-frater keluar dari keluarga besar besar Montfortan. Yang mengeluarkan adalah diri kami sendiri.
ZiarahBatin Spiritual dan Daya Nalar Intelektual
Ia tidak berbicara banyak hal tetapi kendati pun sedikit ada banyak makna yang ia sampaikan pada malam hari ini yaitu tanggal 05 Juli 2014. Aksentuasi dari apa yang beliau katakan bahwa hidup di rumah ini doa menjadi dasar. Dan untuk meninggalkan keluarga terutama orang tua sangat muda, sedangkan yang menjadi kesulitan adalah meninggalkan kesenangan pribadiku. Karena kesenangan itu terus kubawa dan sampai kapan pun terus ada bersama aku. Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial.
Di rumah ini ziarah batin spiritual dibangun melalui kehidupan doa yang adalah akar tunggang, kata Fr. Us Dopo. Sedangkan aktivitas lain adalah akar serabut. Ziarah batin ini terus diasah dan diperdalam. Begitu pun aspek intelektual terus di nyalakan. Ibarat api yang hanya setitik terus ditiup agar menjadi api yang besar. Mendulang apa yang dikatakan orang bijak, semuanya mengalir dari niat dan keinginan. Atau Fr. Wim mengafirmasikan bahasanya orang Mbai, where there is a will, there is a way. Kemauan membuka pintu yang mungkin bagi orang mustahil dibukakan, namun bagi orang yang mempunyai niat, ia ingin menggedor pintu yang tertutup itu. Kendati pun sulit memang, namun ketika itu dibukakan dengan tekun maka pasti ada jalan di sana.
Penyelenggaraan Ilahi
“Hidup itu harus dijalani dengan senyuman dan kebahagiaan. tidak berarti melarikan diri dari masalah, melainkan karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu memeliharaku”
-Rm. Rafael-
Itulah perkataan yang keluar dari mulut romo Rafael saat pertemuan singkat dengan kami, muka baru di komunitas ini. Perkataan itu bukanlah sebuah perkataan yang hanya berhenti di tataranan konsep tetapi memang kalau direfleksikan secara mendalam sungguh mendulang sebuah makna yang padat nan mendalam. Ini juga sangat sinkron dengan hidup sebagai Montfortan. Adalah sebuah keyakinan bahwa Penyelenggraan Ilahi selalu ada dan terus ada. Sebuah harapan memang tetapi tersalut dalam sampul kepastian. Kalau orang melihat itu adalah sebuah kemungkinan dan harapan belaka, tetapi itu kata orang. Ini akan sungguh menjadi sebuah keniscayaan yang lahir dari kedalaman iman.
Refleksi beliau mengena betul dengan kehidupanku. Memang kadang saya berpikir pusing seribu keliling dengan sebuah persoalan. Pada persoalan itu tetap ada dan terus ada. Kalau seandainya saya tetap enjoy tidak mengganggu kepribadianku. Dalam sebuah syair kuucapkan ini adalah “sebuah teks lebar yang terus kubaca dan kulewati dalam hidup”. Dalam sebuah keheningan yang bercampung ketegangan beliau berkata bahwa kemungkinan uang kita tinggal 20 tahun lagi. Semua sempat diam dan merenung, tetapi untuk apa sedih, bukankah Tuhan yang memelihara komunitas kami.
Test Psikologi
Mengikuti test psikologi bagiku merupakan sebuah peristiwa asing dan menjadi pengalaman baru yang membawa saya untuk memaknai setiap persolan dalam hidup. Hidup itu sendiri adalah sebuah persolan. Lalu, akankah saya tinggal tetap atau harus bisa melewati batu persoalan itu. Memang biasanya hal yang mudah itu tidak membutuhkan tenaga yang ekstra untuk mendaki batu persoalan itu. Di titik kesulitanlah, semua tenaga harus dikerahkan untuk bisa melewati batu persoalan yang berat. Aksentuasinya, batu persoalan yang mudah harus dilalui dengan baik, agar batu persoalan yang lebih sulit bisa dilalui pula. Hidup ini bukanlah suatu perjalanan yang mulus dan aman. Bukan pula harga mati yang hanya bergerak mulus dan teratur. Aku bukan apa yg aku pikirkan but apa yang aku pikirkan itulah aku.
Search Out :Hidup ini Adalah sebuah teks
Kalau dicari makna dari serach out. Search-mencari, menemukan. Out-di luar. Maka search out berarti mencari di luar. Ada apa di luar sana, sehingga saya harus mencari dan menemukannya. Adakah hal yang baik atau malah hal yangburuk. Adakah nona cantik yang harus saya cari. Mencari di luar kota Malang. Memang kalau mau kritis sebenarnya search out tidak cocok karena kami bukan mencari di luar melainkan mencari di dalam kota Malang itu sendiri. Maka yang cocok search in-mencari di dalam. Kalau search out yang berarti mencari di luar dan pusatnya adalah rumah ini, bisa dibenarkan.Tetapi bukan itu inti yang mau saya sharingkan.Itu adalah sebuah letupan yang ada dalam hati sebelum berangkat. Kisah perjalanan berlanjut. Perjalanan selama sehari membingkai dalam sebuah kisah indah yang tidak sulit dikenang. Perjalanan mengenal kota malang dengan mendayung speda. Sulit memang namun ketika dikecap sangat indah. Kurasa setiap dayunan punya makna. Meman itulah yang terus kucari makna. Keraguan memang sempat terbersit dalam diriku. Namun keraguan itulah yang melahirkan pengetahuan tentang kota malang. Esse co esse est-ada berarti ada bersama dengan yang lain. Sentilah Gabrie Marcel sangat relevan jika dikaitkan dengan sisi pengalaman yang kuperoleh hari ini. Dalam kebersamaan semua keraguan dan ketakutan dijawab. Ketika salah seorang anggota tersesat, semua yang lain merasa kehilangan dan tidak ragu-ragu mencarinya sampai dapat. Alhasil keinginan itu terwujud. Rahmat persaudaraan itulah yang membuat kami bisa menjalani apa yang sudah diprogramkan.
Teks sering diibaratkan dengan buku, lembaran dan juga kertas lainnya. Namun kalau ditelisik teks berasal dari Bahasa Latin textus yang berarti anyaman yang bisa dibaca. Tempat baru, jalan baru dan semuanya baru dalam kehidupanku. Itu juga adalah teks yang bisa kubaca. Bahkan teman-teman dan saya sendiri juga teks lebar yang bisa dibaca dari ekspresi dan segala gerak-geriknya. Aku sunggu sadar bahwa saya selama ini tidak ada apa-apanya. Saya hanya berkutat sekitar Flores saja, sementara kota besar bagiku adalah impian. Ini semua terpenuhi, karena panggilan. Memang panggilan itu bersumber dari kasih Tuhan yang mengalir dengan Cuma-Cuma. Maka saya pun harus bisamemberikan kasih yang sama dengan Cuma-Cuma kepada Allah dan sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H