Mohon tunggu...
EGA PUTRA SABANA
EGA PUTRA SABANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hanya seorang mahasiswa biasa dari PGSD UNNES. Sedang mengetik...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Melintasi Batas dengan Cerita: Cerita Anak sebagai Cermin Keberagaman

6 Desember 2024   11:00 Diperbarui: 6 Desember 2024   11:13 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada ujung koridor sekolah, disebuah ruang kelas yang penuh dengan tawa anak-anak, seorang guru membuka sebuah buku dengan sampul yang berkilauan, seakan menyimpan dunia rahasia di dalamnya. Dalam hitungan detik, siswa-siswa itu dibawa melintasi waktu dan tempat, menjelajahi hutan tropis tempat Si Kancil berdebat dengan Buaya, melintasi pegunungan bersalju bersama seekor Naga dari Timur, hingga menyelami danau biru bersama Ikan Pelangi yang penuh Kebijaksanaan. Inilah keajaiban sastra anak, di mana cerita bukan sekadar rangkaian kata, melainkan portal ke semesta yang penuh warna dan makna.

Di tengah arus modernisasi yang serba cepat, sastra anak menjadi jangkar yang menanamkan nilai-nilai luhur dalam benak generasi muda. Namun, ia tidak hanya berhenti sebagai hiburan semata. Sastra anak dapat menjadi instrumen elegan untuk menenun benang keberagaman di dalam pikiran siswa, menjadikan mereka pemimpi dan pemikir yang menghargai perbedaan. Seperti kisah klasik yang membawa pesan moral dalam setiap barisnya, sastra anak memiliki kekuatan untuk membangun dunia yang lebih toleran, inklusif, dan penuh empati---sebuah kebutuhan mendesak di era globalisasi yang kian kompleks ini.

Apakah cerita dapat menyatukan dunia? Dengan dongeng dan narasi, jawabannya adalah "ya." Sastra anak tidak hanya menggambarkan keindahan budaya lain, tetapi juga membuka mata, hati, dan pikiran untuk melihat bahwa perbedaan bukanlah tembok yang memisahkan, melainkan jembatan yang memperkaya.

Sastra Anak: Cermin Keberagaman Budaya

Sastra anak mencerminkan keberagaman budaya yang ada di dunia. Dengan membaca kisah-kisah dari berbagai latar belakang budaya, siswa dapat memperluas wawasan mereka dan memahami bahwa dunia ini dipenuhi dengan cara hidup, tradisi, dan nilai yang beragam. Sastra anak seperti sebuah "jendela" yang memungkinkan siswa melihat dunia di luar pengalaman mereka sendiri, sekaligus menjadi "cermin" yang merefleksikan budaya mereka sendiri (Bishop, 1990).

Misalnya, dalam cerita rakyat Indonesia, nilai-nilai seperti gotong royong, kejujuran, dan hormat terhadap orang tua sering kali muncul. Sebaliknya, dalam kisah anak-anak internasional seperti "The Tale of Peter Rabbit" karya Beatrix Potter, nilai kedisiplinan dan tanggung jawab lebih ditekankan. Melalui perbandingan seperti ini, siswa dapat belajar untuk melihat persamaan universal dan perbedaan unik dalam berbagai budaya.

Selain itu, sastra anak juga dapat membantu memperkenalkan budaya yang terpinggirkan. Buku seperti "Nenek Pakande" dari Sulawesi Selatan dapat menjadi media untuk memperkenalkan cerita rakyat dari wilayah Indonesia Timur yang masih jarang diketahui oleh banyak siswa. Dengan demikian, keberagaman budaya bukan hanya menjadi sesuatu yang dipelajari, tetapi juga dirasakan melalui narasi yang menarik.

Mengintegrasikan Sastra Anak dalam Pembelajaran Multikultural

Mengintegrasikan sastra anak dalam pembelajaran multikultural di Indonesia dapat dilakukan dengan banyak sekali cara yang berbeda, salah satunya yaitu memanfaatkan kisah-kisah dan dongeng lokal yang kaya akan nilai budaya. Berikut langkah-langkah yang dapat diambil:

  • Memilih Buku yang Mewakili Keberagaman Budaya di Indonesia
    Indonesia memiliki ribuan kisah rakyat dari Sabang hingga Merauke yang merefleksikan keberagaman budaya nusantara. Guru dapat memperkenalkan cerita seperti "Lutung Kasarung" dari Jawa Barat yang mengajarkan pengorbanan dan kesetiaan, atau "Malin Kundang" dari Sumatra Barat yang memberikan pelajaran tentang pentingnya bakti kepada orang tua. Dengan memilih cerita dari berbagai daerah, siswa diajak mengenal budaya lain dalam lingkup negara mereka sendiri.
  • Membentuk Lingkungan Diskusi yang Aman
    Diskusi kelompok dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap nilai-nilai multikultural yang ada dalam cerita rakyat. Misalnya, setelah membaca "Batu Badaong" dari Maluku, siswa dapat didorong untuk berdiskusi tentang pentingnya kerja sama dan persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Guru dapat mengajukan pertanyaan seperti: "Apakah ada kisah lain dari daerah kalian yang mengajarkan nilai serupa?"
  • Kolaborasi Antar-Budaya dalam Proyek Kelas
    Proyek berbasis cerita lokal dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap keberagaman budaya Indonesia. Misalnya, siswa dapat membuat ilustrasi atau mementaskan drama dari cerita "Timun Mas" yang berasal dari Jawa Tengah. Dalam proses ini, mereka tidak hanya memahami alur cerita, tetapi juga mengenal pakaian adat, bahasa, atau tradisi yang terkait dengan daerah asal cerita tersebut.
  • Menggunakan Media Interaktif Berbasis Lokal
    Selain memanfaatkan buku cetak, guru dapat menggunakan media digital interaktif berbasis cerita rakyat Indonesia, seperti animasi "Si Pitung" atau video cerita rakyat dari daerah Papua. Media ini tidak hanya menarik minat siswa, tetapi juga memberikan pengalaman belajar yang lebih kaya dan mendalam tentang keberagaman budaya lokal.

Manfaat Penerapan Pembelajaran Multikultural Melalui Sastra Anak

Memanfaatkan sastra anak sebagai media penyampaian kepada peserta didik dalam pendidikan multikultural menghasilkan manfaat yang luas dan berkelanjutan.
Berikut adalah beberapa pengembangan manfaatnya:

  • Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis
    Siswa diajak untuk menganalisis cerita, membandingkan nilai-nilai budaya, dan menghubungkannya dengan pengalaman pribadi. Proses ini membantu mereka mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang penting untuk menghadapi tantangan global.
  • Memperluas Dunia Sosial Siswa
    Dengan mengenal budaya lain melalui cerita, siswa menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, sehingga mereka mampu berinteraksi dengan berbagai kelompok budaya di dunia nyata.
  • Memperkuat Kepribadian Siswa sebagai Warga Dunia
    Sastra anak memperkenalkan konsep global citizenship. Misalnya, cerita yang mengajarkan empati terhadap anak-anak pengungsi atau cerita tentang isu lingkungan global dapat membentuk siswa menjadi individu yang peduli terhadap dunia.
  • Menanamkan Toleransi melalui Nilai Lokal
    Dongeng-dongeng Indonesia kaya akan pesan moral yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kisah seperti "Ande-Ande Lumut" dari Jawa Tengah mengajarkan pentingnya melihat seseorang dari kebaikan hatinya, bukan dari penampilan luarnya. Cerita "Bawang Merah Bawang Putih" mengajarkan pentingnya kejujuran dan ketulusan. Dengan mempelajari nilai-nilai ini, siswa tidak hanya belajar menghormati budaya lain, tetapi juga memahami bahwa banyak nilai universal yang diusung oleh budaya berbeda di Indonesia.

Melalui pendekatan ini, siswa dapat belajar untuk menghormati dan menerima perbedaan, baik dalam konteks budaya, agama, maupun latar belakang sosial. Dengan cara ini, toleransi menjadi lebih dari sekadar konsep abstrak, tetapi menjadi kebiasaan yang tumbuh dalam kehidupan sehari-hari.

Tantangan dalam Penerapan Sastra Anak untuk Pendidikan Multikultural

Meski potensi sastra anak sebagai media pendidikan multikultural sangat besar, penerapannya di kelas mungkin akan menghadapi beberapa hambatan berikut ini:

  • Kurangnya Representasi Buku Multikultural di Sekolah
    Masih banyak sekolah yang kekurangan buku dengan representasi budaya yang luas. Penelitian menunjukkan bahwa 90% buku anak di Indonesia masih didominasi oleh cerita dari budaya mayoritas, sehingga budaya minoritas kurang terwakili (Sukandi, 2020).
  • Kompetensi Guru yang Masih Terbatas
    Guru sering kali kurang memahami konsep multikulturalisme atau kurang terampil menggunakan cerita sebagai alat pembelajaran. Pelatihan dan pengembangan profesional untuk guru perlu diperkuat agar mereka dapat memaksimalkan potensi sastra anak.
  • Kendala Bahasa
    Cerita dari budaya lain kadang-kadang tidak tersedia dalam bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. Diperlukan adaptasi atau terjemahan yang tidak kehilangan makna budaya aslinya.
  • Resistensi Budaya di Kalangan Orang Tua atau Komunitas
    Sebagian orang tua mungkin merasa bahwa pengenalan budaya lain terlalu "jauh" dari nilai-nilai yang mereka anut, sehingga mereka cenderung menolak penggunaan buku yang mencerminkan budaya asing.

Sastra anak memiliki kekuatan untuk menciptakan dunia yang lebih toleran, inklusif, dan penuh empati. Sebagai media pembelajaran multikultural, sastra anak dapat membuka wawasan siswa terhadap nilai-nilai universal sekaligus memupuk rasa hormat terhadap perbedaan budaya. Namun, untuk memaksimalkan manfaat ini, guru, orang tua, dan pembuat kebijakan pendidikan perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan yang ada.

Melalui pemilihan buku yang inklusif, pembelajaran berbasis proyek, dan diskusi kritis, siswa dapat menemukan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan hambatan. Dengan cara ini, sastra anak bukan hanya menjadi sarana hiburan, tetapi juga jembatan yang menghubungkan budaya-budaya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun