“Pendakian besok mau kemana mas?”
“Insyaa Allah ke Raung”
“Dimana itu?”
Percakapan singkat itu cukup sering ditanyakan rata-rata bagi orang disekitar saya yang memang bukan pendaki, Raung, gunung yang bagi kebanyakan orang awam tidak tahu dimana itu. Memang gunung ini tidak sepopuler Semeru atau Rinjani, apalagi Bromo, gunung sejuta umat. Tapi berbeda halnya dengan para pendaki khususnya mereka yang belum pernah ke Raung, pertama kali yang terbesit adalah Gunung Terekstrem di Pulau Jawa.
Mendengar branding itu memang Raung menjadi salah 1 gunung dalam daftar saya yang akan saya daki “nanti-nanti” saja untuk melengkapi 7 Summits of Java. Tapi Tuhan berkehendak lain, Alhamdulillah tahun ini kesampaian (nampaknya efek dari Gunung Slamet ditutup saat itu). Bahkan sampai sekarang sayapun masih tidak menyangka bahwa saya diberikan kesempatan untuk mencapai beberapa puncak di Raung; puncak bendera, puncak tusuk gigi, dan puncak sejati.
Biasanya gunung-gunung lain selalu diidentikkan dengan pemandangan yang indah, lautan awan, sabana yang luas tapi Raung selalu ditonjolkan jurang, tebing, dan ekstremenya (walau sebenarnya memang iya sih..).
Sebelum pendakian, para pendaki wajib untuk di briefing di sekretariat pendakian dekat Basecamp. Pendakian Raung via Kalibaru, wajib untuk menggunakan guide karena medan menuju puncak memang membutuhkan perlengkapan keamanan seperti helm, tali webbing, dan karabiner apalagi lokasi yang tidak ada sumber mata air persiapan tetap harus matang. Basecamp ke pos 1 menggunakan ojek melewati warung bu Sunarya dan berhenti di warung bu Intan, tidak jauh dari situ sudah sampai di pos 1. Sepanjang perjalanan merupakan perkebunan kopi, jadi tidak jarang sayapun sering kesenggol ranting-ranting pohon kopi. Kebun kopi terus membentang sampai mendekati pos 2. Setelah itu sampai pos 7 dimana tempat kami ngecamp, kondisi vegetasi hutan cukup rapat. Sepanjang mata memandang banyak sekali pohon-pohon besar dan menjulang cukup tinggi yang entah umurnya sudah berapa ratus tahun. Memang gunung ini tidak sepopuler gunung-gunung lain di Jawa padahal Raung merupakan gunung tertinggi ke empat di pulau Jawa yaitu 3344 mdpl. Dari beberapa gunung yang saya daki apalagi di Pulau Jawa, saya merasakan suasana hutannya memang berbeda. Jenis pohon-pohonnya seperti difilm-film khas hutan hujan tropis. Saat itu suasana menyejukkan dengan angin semilir yang cukup dingin, bahkan kehangatan sinar mataharipun masih kalah dengan angin yang berhembus.
Persiapan summit mulai dari jam 00.00 dan rombongan mulai berangkat menuju pos 8 jam 01.30 dini hari. Waktu tempuh dari pos 7 (camp ground) sampai pos 9 sekitar 2 jam, di pos 9 kami mempersiapkan diri untuk memasang perlengkapan keamanan karena setelah itu mulai masuk ke puncak bendera yang medannya banyak titik-titik ekstreme. Sepanjang mata memandang dari puncak bendera sampai puncak sejati terlihat jurang dan tebing curam. Menciutkan hati apalagi perjalanan dimulai ketika dini hari, jalan hanya tersinari headlamp dan cahaya bulan. Pikiran liar sempat kebesit, wah kalau kepleset masuk jurang gimana atau tiba-tiba ada monster keluar dari balik tebing.
Ada beberapa informasi yang membatasi pikiran saya sebelum pendakian sampai akhirnya memutuskan Raung menjadi destinasi selanjutnya. Pertama, branding dari Raung itu sendiri “The Most Extreme Mountain in Java”, kata ekstrim selalu identik dengan bahaya, mengerikan bahkan kematian apalagi didukung dengan para vlogger yang memperkenalkan “Jembatan Shiratal Mustakim” di salah satu titik ekstrimnya, jalan yang dilalui sangat kecil sekali dengan kanan kiri jurang. Padahal ketika melewati medan tersebut, kenyataannya jalan tidak seperti apa yang dilihat divideo-video. Jalan setapak masih nampak “normal” untuk dilalui bagi pendakian walau memang kanan kiri jurang. Tidak meremehkan, tetap perlu berhati-hati.
Kedua, pengambilan video beberapa titik ekstreme yang terlihat tebing sangat terjal dan curam. Apalagi dari ekstreme 3 menuju puncak tusuk gigi dan sejati kelihatan tebing-tebing sangat curam, padahal ketika kita melewatinya sebenarnya tidak “semenakutkan” ketika kita melihat dari jauh. Ketika kita melewatinya masih cukup ideal untuk kita lalui bahkan menuju ke puncak tusuk gigi dan sejati, medan ini menurut saya seru dan tidak membosankan. Beban pendakian juga tidak tertumpu hanya di 1-2 bagian anggota tubuh seperti paha atau betis, sehingga beban bisa terbagi-bagi tumpuannya. Disini kita perlu berhati-hati dengan batu-batu yang bisa saja jatuh.