"tenang, semua pasti ada hikmahnya.."
"lihat sisi positifnya donk.."
Itulah nasehat yang kerap kita dengar ketika mengalami kejadian buruk. Setiap kali gagal pada suatu hal, kita cenderung menganggapnya sebagai kekalahan. Tentu saja ini hal yang wajar, karena manusia seringkali menghabiskan hidupnya dengan berusaha lari dari kegagalan. Padahal, kitapun tahu bahwa kekuatan dan kemajuan justru datang dari tempat yang sulit.
Namun tetap saja, pemahaman ini tidak begitu saja membuat kita merasa lebih baik. Nasehat terasa kosong, penghiburan terasa tidak berguna, apa-apa yang sebelumnya kita yakini kebenarannya bisa berbalik menjadi pertanyaan: "kenapa saya? Apa salah saya?" .
Hikmah dan perspektif positif memang bisa menjadi penolong, tapi sayangnya, dua hal ini kerap baru kita sadari jauh setelah sebuah peristiwa buruk terjadi. Kondisi mental yang telah pulih memiliki peranan besar disini. Selama kita belum pada tahap emosi yang stabil, tidak mudah juga untuk melihat apa lesson point dari setiap kejadian.Â
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk bertahan di situasi sulit?. Salah satunya adalah dengan menemukan pemaknaan baru, suatu alasan yang cukup kuat sekaligus cukup mudah dicerna oleh diri yang sedang rapuh. Pada sebagian orang, ini bisa berbentuk keyakinan seperti "hal ini memang sudah takdirnya terjadi"- sebuah bentuk kepasrahan pada kekuatan yang lebih besar dari kita. Namun bagi sebagian lain, pikiran ini justru bisa melemahkan karena seolah menafikan fungsi kita sebagai makhluk aktif yang bisa menentukan pilihan.
Di sisi lain, otak manusia memang cenderung mencari pola. Jakob Hohwy (2014) dalam bukunya The Predictive Mind menyatakan kecenderungan kerja otak ini sebagai bagian dari evolusi manusia. Kita mengembangkan sifat adaptif, mampu membaca aksi dan intensi orang lain, karena berusaha menghindari diri dari bahaya. Semakin baik kemampuan prediksi itu, semakin besar juga kemungkinan kita bertahan dari situasi sulit. Lebih lanjut lagi, otak naratif manusia (belahan kiri yang memiliki fungsi bahasa), juga memiliki sifat natural untuk menciptakan "kisah" yang memiliki akhir bahagia. Bahwa sesuatu belum betul-betul berakhir sebelum ada kebaikan yang terjadi. Dengan kata lain, kita jadi meyakini bahwa setiap hal terjadi karena alasan tertentu. Keecenderungan pencarian pola dan kemampuan mengembangkan alasan inilah yang bisa kita kembangkan menjadi survival thinking pada situasi sulit.
Lalu apa saja, alasan yang bisa diterima pikiran kita?
1) Sebuah peristiwa terjadi karena kita sedang disiapkan untuk hal yang akan datang.
Salah satu kesadaran terkuat tentang alasan sebuah peristiwa terjadi adalah karena fungsinya sebagai arena persiapan sebelum terjadinya hal besar yang lebih baik  dalam hidup. Kita tentu sulit merasakan kesuksesan jika belum mengalami sakitnya kekalahan, karena dari titik itulah kita mampu memiliki strategi lain dan beradaptasi lebih cepat. Peristiwa buruk, jauh melampaui potensinya dalam merusak kehidupan, sebenarnya celah bagi kita untuk berkembang dengan cara positif.