Apa alasan Anda berpuasa? Sebagai pribadi dewasa-mandiri orang-orang akan mengemukakan berbagai alasan. Alasan-alasan itu apabila diperas hanya satu: alasan: religius. Yang religius ini bermula dari sekadar kewajiban sampai pada memasukkan ilmu kesehatan yang dibalut dengan nafas agama. Tidak ada yang salah dengan berbagai jawaban tersebut. Tidak ada yang salah!
Puasa memang kewajiban di bulan Ramadhan. Saya belum pernah membaca renungan Ramadhan yang bertebaran masuk ke ranah etika. Perbuatan moral puasa belum dengan pertimbangan moral yang tinggi. Perbuatan moral berbeda sama sekali dengan pertimbangan moral. Perbuatan moral tinggi belum tentu didasari pertimbangan moral tinggi pula.
Saya berikan contoh imajiner yang kejadian dan nama rekaan belaka, yang kalau ada yang merasa namanya sama itu hanyalah kebetulan. Andi dan Udin menghentikan mobil mereka di perempatan traffic light atau kalau di Yogya disebut bangjo, (lampu) abang-ijo. Mengapa? Karena lampunya merah. Mereka melakukan tindakan benar. Namun kalau disidik, pertimbangan moral mereka berbeda. Udin berhenti, karena menurut aturan lampu merah artinya berhenti, maka ia berhenti. Titik! Udin menaati aturan itu tanpa reserve. Udin patuh! Andi lain lagi. Andi berhenti, karena selain peraturan, ia menghayati apabila ia nyelonong saja, maka akan membahayakan orang lain dan dirinya sendiri serta akan timbul kemacetan akibat perbuatannya. Jelas di sini pertimbangan moral Andi lebih tinggi ketimbang Udin.
Lawrence Kohlberg memetakan enam tingkatan pertimbangan moral: (1) wawasan pada hukuman dan kepatuhan, (2) wawasan pada pahala, (3) wawasan pada menyenangkan pihak lain, (4) wawasan pada hukum positif, (5) wawasan pada pendapat atau kebenaran umum, dan (6) wawasan pada kesejahteraan orang lain.
Jika orang berpuasa karena kewajiban dan pahala, maka orang itu pada tingkatan pertama dan kedua, yang menurut Kohlberg dua tingkatan itu masih dalam kelompok pra-konvensional atau dengan kata lain masih primitif.
Sedikitnya 71 kali bulan Ramadhan dihelat di negeri ini. Akan tetapi bulan puasa ternyata menjadi ajang praktik pemborosan dan konsumerisme. Orang memang tidak makan siang, tetapi akan melipatgandakan hawa nafsu perutnya pada saat berbuka puasa. Padahal puasa bisa dijalankan bukan semata lewat kewajiban melainkan dijalankan dengan pertimbangan moral tinggi, yaitu mengubah wawasan puasa kepada kesejahteraan orang lain.
Ketika orang dimintai menyisihkan penghasilannya untuk orang-orang pinggiran akan berdalih tidak punya apa-apa selain kebutuhan untuk hari itu, justru itulah puasa dijadikan perubahan wawasan pada kesejahteraan orang lain dengan memberikan jatah makan siang kita kepada orang-orang yang membutuhkan. Jatah makan siang bukan dialihkan untuk melipatgandakan “gizi” saat berbuka puasa, melainkan diberikan kepada orang yang tidak berkecukupan untuk makan.
Ibadah puasa Anda akan terasa gagah, karena Anda berpuasa agar orang lain bisa makan. Kesadaran etis Anda langsung melonjak ke tingkat lima atau enam yang masuk ke dalam kelompok pasca-konvensional. Hebat, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H