Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Saat Burung Tidak Berkicau

3 Juli 2015   20:53 Diperbarui: 3 Juli 2015   20:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kicauan begitu singkat. Walau Anda sastrawan, wartawan atau ilmuwan, yang biasa menulis panjang lebar dan catatan kaki yang menjimut, Twitter membatasi gerak Anda. Dengan keterbatasan jumlah karakter, Anda dan pengguna lainnya dituntut kreatif saat menyampaikan pesan. Itulah esensi pembatasan karakter, seperti yang diungkapkan Christoper Isaac Stone atau akrab disebut Biz Stone, salah satu pendiri akun ini.

Esensi pembatasan ini mirip aturan penulisan berita langsung (straight) yang berlaku pada surat kabar. Peristiwa atau bagian terpenting diletakkan pada bagian awal atau biasa disebut teras berita (lead). Pembaca koran, fisik maupun elektronik, sudah cukup terpuaskan kebutuhan informasinya tanpa harus membaca penuh seluruh isi berita. Sesuatu yang lumrah bagi masyarakat, karena memiliki sedikit waktu untuk membaca (reader supersonic).

Begitu pun dengan kicauan-kicauan yang setiap waktu muncul di beranda akun. Tak perlu basa-basi kalau berkicau, karena masih banyak antrian kicauan yang perlu dibaca. Pembatasan yang singkat itu ternyata cukup beralasan, agar pesan cepat dibaca pengikut. Namun, seiring berjalannya waktu, para pengguna bukan lagi sekadar berkicau. Beberapa telah menjelma menjadi burung yang bernyanyi dengan syair dan bait panjang.

Microblog + microblog = Blog

Nyanyian menarik itu salah satunya ditunjukkan ketua umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono. Terlepas dari makna pesan yang disampaikan, lewat akunnya @SBYudhoyono, pada 15 Juni 2015, Tweets-nya yang berisi tanggapan atas dana aspirasi anggota DPR merupakan rangkaian yang koherensi satu dengan yang lain. SBY memang belum ingin sekadar berkicau atas masalah anggaran ini.

Jika dicermati, seluruh kicauannya saat itu memiliki koherensi antar kicauan dan bisa disusun menjadi sebuah artikel tulisan. Jumlah kicauan ini sebanyak 16 buah. Agar memudahkan pembaca menyambung kicauannya, SBY menomorkan setiap kicaun. Kalau membaca satu kicauan saja, pembaca sudah pasti terkecoh.

 

Tak hanya SBY, fenomena ‘badai twitter’ ini juga kerap dilakukan para tokoh nasional lainnya, semisal Aburizal Bakrie dan Yusril Ihza Mahendra. Nyanyian Aburizal muncul saat konflik dualisme di tubuh partai Golkar.

Benar saja alasan kedua tokoh nasional ini, perlu memberikan tanggapan panjang lebar untuk sebuah masalah yang sangat kompleks. Dengan jumlah pengikut (followers) dan kecepatan penyampaian informasi, praktis, mereka lebih memilih twitter. Pesan itu bisa sampai ke banyak target dengan waktu yang relatif singkat.

Namun, bila memandang Twitter sebagai microblog, persoalannya bukan lagi tentang kecepatan dan jumlah pembaca semata. Nilai lebih pengguna bisa terukur dari kecakapannya merangkai makna dan ekspresi yang tidak melebihi 140 karakter. Bila tidak sanggup menyusun kurang dari 140, rasanya, pemilik akun (tweeple) lebih baik menulis di blog yang tak mempersoalkan jumlah karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun