Seisi ruangan bagai pemakaman, semua pasang mata memandangiku. Meski hanya sekejap, cahaya seperti memekat, redup beberapa saat. Ada yang segera memalingkan wajah. Aku sempat berhenti, membalas pandangan mereka. Tak ada waktu lagi, aku melanjutkan langkah kakiku. Dobri menghampiriku. Perasaanku semakin risau setiap langkah dia mendekat. Kumis tebal itu menambah cukup banyak aura duka wajah datarnya. Di sini, kami semua berlima, berdiri kaku. Pandangan mereka, aku anggap saja pelipur lara dalam kebosanan. Itu semua tidak berarti apa-apa.
“Aku sudah lelah harus seperti ini saja. Kalau kau berpikir untuk maju, kami semua sudah sepakat. Kau mengerti maksudku?” Dobri mengatakan pelan-pelan di depan wajahku.
“Apa? Aku baru saja tiba di sini,” balasku.
Dobri kecewa aku berkata demikian. Kepalanya diangkat sedikit sambil menghela napas dalam-dalam. Aku mengerti jawabanku tidak mengenakkan dalam situasi seperti ini. Namun, aku tidak memahami secara kesatuan maksud perkataannya.
“Kau hanya perlu memperjelas, maju dalam bagian apa?” terusku.
“Jaksa Thohari muak dengan pemberitaan. Lima hari ini tanpa kepastian, dia menjadi bulan-bulanan di luar sana. Prasangka buruk pastinya, itu yang terus dipikirkannya. Kasus ini sudah membelitnya,” ungkap Dobri sedikit menguatkan pita suaranya. Hening pecah saat itu juga. Yang lainnya menonton perbincangan.
Kami bertugas sebagai anggota Kepolisian. Sesuai aturan kerja organisasi, kami berwenang untuk menangkap tersangka, mengejar mereka sampai dimana pun keberadaannya.
Dain, kota kecil ini berpenduduk sekitar 3.000 orang. Kota dengan keluguan masing-masing warganya. Kemarin, seseorang, tak jauh dari kantor sekitar 500 meter, menenteng seekor ayam di tengah malam. Bajunya lusuh, belum lagi bau kotoran yang terlanjur melekat ke seluruh baju dan badannya. Dalam perjalanan pulang, Anton, salah satu anggota menegurnya. Pantas saja, sebab memang begitu cara kerja kami melihat ulah seseorang di tengah malam yang sunyi menghadapi seseorang mirip laku pemabuk. Kebetulan juga ayam itu tak berhenti mendesirkan suara. Orang asing ini seakan tidak terima kehadiran Anton. Lekas dia berlari sejauh dan sebisanya. Hilang dalam kegelapan.
Fajar menyingsing, cerita malam tadi menyebar ke warga. Aku baru sekali melangkah menuju gerbang, namun rasa penasaran itu muncul. “Apa yang mereka bicarakan?” aku mengalamatkannya ke piket pagi itu. Dia tidak mengerti persis, malah menyarankan untuk menghubungi Anton. Aku melakukannya. Ponsel menempel di telingaku. Tak ada jawaban, ini sudah ketiga kalinya.
“Sepertinya ada berita kehilangan,” ujar petugas itu. Aku memahaminya. Warga disini tidak menginginkan perkara mereka terlalu banyak kami campuri. Segalanya menjadi begitu sederhana. Mereka lebih sering mengatupkan tangan, lalu berdoa. Hampir setiap waktu mereka pergi ke gereja. Tidak banyak alasan yang aku ketahui, namun mereka benar-benar tampak sangat saleh di mataku. Para pejabat dan aparatur di sini demikian pola hidupnya. Aku belum pernah melihat watak masyarakat yang sangat religius seperti ini, tidak di kota kelahiranku.
Kejadian ini adalah cerita biasa, lewat begitu saja. Toh, semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Tak mengherankan bagiku bahwa kota ini mencatatkan sedikit angka dibanding kota-kota lainnya, 200 kasus kejahatan setiap tahunnya. Bagaimana yang lain? Aku sedikit heran, rata-rata memiliki 1000 kasus. Perbandingan yang tidak biasa untuk sebuah kota. Namun, cerita bahagia itu tidak akan berlanjut. Kali ini ada yang membuat keahlian kami benar-benar harus dijalankan. Kota ini sekarang sedang bergentayangan suatu narasi kemunafikkan, menurut pandanganku. KPK, lembaga anti rasuah, bersama kejaksaan mendapatkan sebuah temuan mengenai penggelapan dana Rp 500 miliar banyaknya.