Kualitas pers yang dulu bagus-bagus. Seorang teman berkata demikian. Dia sedang berusaha memikirkannya sendiri untuk menggenapi pernyataan yang tadi diucapkannya. Saya mendengar, mungkin beberapa argumen atau bukti lain akan membantu. Namun saya harus berpikir bahwa tidak beralasan bagi saya menanggapi hal tersebut.
Atas dasar apa? Saya tidak menemukan pandangan tepat untuk memulai. Dia menyodorkan Laporan Utama TEMPO Edisi 12 November 1988 yang keluar dari selipan arsip-arsip lama. Halaman itu menampakkan kekusamannya dalam endapan waktu yang cukup lama. Dia, lagi, menyeret ke hadapan mata sebuah bundel yang mengantongi halaman-halaman sebuah majalah kampus UB Ketawanggede 1993.
Membaca halaman tersebut, ajaib benar. Mengandaikan saya adalah wartawannya, degup jantung akan berdebar-debar. Selimut Hangat-nya Malang dibuka. Sudah biasa? Tapi, foto ‘aduhai’ sebagai sampul majalah?
Baiklah, foto memang merangsang imajinasi pembaca agar bangkit. Kata menjadi kumpulan rangka-rangka pondasi untuk mendirikan realita baru. Pergerakan peristiwa dalam foto tersebut tidak dapat diabaikan dengan percuma, semata-mata kata telah mencukupinya. Seorang penulis menawarkannya bukan lagi sebagai alat, tapi ia harus ambil bagian dalam pondasi, susunan-konstruksi.
![Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/10/18/dsc-1830-jpg-58061e7eb17a61941e8b456a.jpg?t=o&v=770)
"Dalam ruangan yang remang-remang ada tiga laki-laki. Mereka tidak menampakkan dirinya 'tamu.' Terlihat sudah kenal intim dengan tuan rumah," dalam laporan Selimut Hangat-nya Malang, Ketawanggede 1993.
Penggalan tersebut memiliki makna berdasarkan situasi dan kehendak pembaca. Tapi makna utuh atas penggalan tersebut masih membutuhkan keutuhan artikel. Berita akan berakhir sebagai teks pula. Kendati cerita berakhir bukan berarti menghentikan pembaca untuk memaknaai dunia. Pembaca memiliki kehendak bebas untuk menentukan nilai, bahkan mengutuk dunia. Secara utuh berita di atas adalah tek tanpa noda, tapi dunia berselimut tabu.
Ketabuan adalah sebuah konsep kokoh untuk menyaring kehadiran makna lain. Hampir tidak menguntungkan kepada tubuh untuk menancapkan kekuasaannya. Tubuh terbendung oleh nilai-nilai sakralitas yang menganggapnya sebagai kesucian yang teramat sangat. Tapi tubuh seketika dapat tenggelam dalam jurang ketiadaan.
Pembaca mulai terombang-ambing saat menafsirkan teks karena tidak berdaya mengikuti seleranya. Ia merasa tidak memiliki andil apa-apa dalam fenomena malam tersebut. Kehadirannya nihil untuk dapat merubah peristiwa. Penulis memenangkan pertarungan wacana. Kehendaknya berjalan untuk menentang suatu yang suci, yang berubah menjadi cacian dan kutukan kepada orang-orang yang berada di halaman-halaman kusam itu.
Dalam pengertian lebih radikal, realita, mengikuti Derrida, tidak akan hadir di luar teks, tidak mencampuri objektivitas kehidupan. Realita dapat ditafsirkan, dimaknai secara terus-menerus dengan berlainan. Artikel di atas tidak berarti apa-apa dalam menciptakan atau menghadirkan realita. Ketabuan-ketabuan, nilai yang terbentuk, adalah nilai di masa lalu dan hilang sejak seseorang memutuskan untuk menulisnya.
![Berita Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/10/18/dsc-1829-jpg-58061efec223bd18208b456e.jpg?t=o&v=770)
"Apa saja yang tak mereka susupi: nasionalis, Islam, berikut organisasi mantelnya. Mereka alot, dan tahan bermain di bawah tanah. Hanya dengan memerangi idenya, gerakan komunis bisa dipatahkan," teras berita Susup Menyusup Gaya PKI, Tempo 12 November 1988.