Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Membaca Media Dulu dan Hari Ini

18 Oktober 2016   20:24 Diperbarui: 20 Oktober 2016   04:00 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laporan Utama: Untuk Pers Tak Ada Masalah, majalah Tempo 12 November 1988

Kualitas pers yang dulu bagus-bagus. Seorang teman berkata demikian. Dia sedang berusaha memikirkannya sendiri untuk menggenapi pernyataan yang tadi diucapkannya. Saya mendengar, mungkin beberapa argumen atau bukti lain akan membantu. Namun saya harus berpikir bahwa tidak beralasan bagi saya menanggapi hal tersebut.

Atas dasar apa? Saya tidak menemukan pandangan tepat untuk memulai. Dia menyodorkan Laporan Utama TEMPO Edisi 12 November 1988 yang keluar dari selipan arsip-arsip lama. Halaman itu menampakkan kekusamannya dalam endapan waktu yang cukup lama. Dia, lagi, menyeret ke hadapan mata sebuah bundel yang mengantongi halaman-halaman sebuah majalah kampus UB Ketawanggede 1993.

Membaca halaman tersebut, ajaib benar. Mengandaikan saya adalah wartawannya, degup jantung akan berdebar-debar. Selimut Hangat-nya Malang dibuka. Sudah biasa? Tapi, foto ‘aduhai’ sebagai sampul majalah?

Baiklah, foto memang merangsang imajinasi pembaca agar bangkit. Kata menjadi kumpulan rangka-rangka pondasi untuk mendirikan realita baru. Pergerakan peristiwa dalam foto tersebut tidak dapat diabaikan dengan percuma, semata-mata kata telah mencukupinya. Seorang penulis menawarkannya bukan lagi sebagai alat, tapi ia harus ambil bagian dalam pondasi, susunan-konstruksi.

Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993.
Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993.
Konstruksi membuka temuan baru untuk membentuk kemapanannya sebelum realita baru itu diresmikan hadir. Ide datang di awal, dijadikan sebagai acuan dan penyaring nilai-nilai. Sekarang, tinggal kehendak pembaca untuk menafsirkan teks itu. Dalam situasi tertentu ia dapat menghancurkan makna secara vulgar dan mengerikan.

"Dalam ruangan yang remang-remang ada tiga laki-laki. Mereka tidak menampakkan dirinya 'tamu.' Terlihat sudah kenal intim dengan tuan rumah," dalam laporan Selimut Hangat-nya Malang, Ketawanggede 1993.

Penggalan tersebut memiliki makna berdasarkan situasi dan kehendak pembaca. Tapi makna utuh atas penggalan tersebut masih membutuhkan keutuhan artikel. Berita akan berakhir sebagai teks pula. Kendati cerita berakhir bukan berarti menghentikan pembaca untuk memaknaai dunia. Pembaca memiliki kehendak bebas untuk menentukan nilai, bahkan mengutuk dunia. Secara utuh berita di atas adalah tek tanpa noda, tapi dunia berselimut tabu.

Ketabuan adalah sebuah konsep kokoh untuk menyaring kehadiran makna lain. Hampir tidak menguntungkan kepada tubuh untuk menancapkan kekuasaannya. Tubuh terbendung oleh nilai-nilai sakralitas yang menganggapnya sebagai kesucian yang teramat sangat. Tapi tubuh seketika dapat tenggelam dalam jurang ketiadaan.

Pembaca mulai terombang-ambing saat menafsirkan teks karena tidak berdaya mengikuti seleranya. Ia merasa tidak memiliki andil apa-apa dalam fenomena malam tersebut. Kehadirannya nihil untuk dapat merubah peristiwa. Penulis memenangkan pertarungan wacana. Kehendaknya berjalan untuk menentang suatu yang suci, yang berubah menjadi cacian dan kutukan kepada orang-orang yang berada di halaman-halaman kusam itu.

Dalam pengertian lebih radikal, realita, mengikuti Derrida, tidak akan hadir di luar teks, tidak mencampuri objektivitas kehidupan. Realita dapat ditafsirkan, dimaknai secara terus-menerus dengan berlainan. Artikel di atas tidak berarti apa-apa dalam menciptakan atau menghadirkan realita. Ketabuan-ketabuan, nilai yang terbentuk, adalah nilai di masa lalu dan hilang sejak seseorang memutuskan untuk menulisnya.

Berita Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993
Berita Ketawanggede Edisi 02 Tahun 1993
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan foto tersebut mampu melengkapi dunia imajiner yang bernafas dalam batok kepala masing-masing. Setelah itu kita-pembaca, memberi nilai terhadapnya, mewarnainya secara berlebihan. Tidak ada jalan lurus untuk memastikan ketabuan dapat bertahan sampai pembaca menerima artikel. Ia tidak sama persisnya dengan ‘ketabuan’ di masa lalu. Masa lalu itu sudah berakhir dan membawa serta solak-solek yang menilainya.

"Apa saja yang tak mereka susupi: nasionalis, Islam, berikut organisasi mantelnya. Mereka alot, dan tahan bermain di bawah tanah. Hanya dengan memerangi idenya, gerakan komunis bisa dipatahkan," teras berita Susup Menyusup Gaya PKI, Tempo 12 November 1988.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun