Bapak menggelengkan kepalanya. Tidak ada jawaban lagi yang kunjung terdengar.
Aku meninggalkan Bapak sendirian di ruang tamu. Aku tahu bahwa dia tidak puas dengan apa yang baru saja kukatakan, tetapi memang tidak ada gunanya membahasnya lebih lanjut.
Masa mudaku adalah masa yang penuh dengan kepercayaan diri, keegoisan, dan sikap memberontak.
Kehidupan di Medan sangat membosankan. Aku dan sebagian orang menghabiskan pikiran untuk dapat selamat dari gangguan geng motor yang kejam, premanisme dan segala bentuk kekerasan yang selalu dipandang sebagai citra kota ini.
Tapi aku tahu watak-watak keras ini bukanlah ciri khas yang membudaya. Tergantung bagaimana orang mempersepsikan kekerasan.Â
Di satu sisi, menjalani hidup berarti menyadari pentingnya kerja keras yang akan membantu orang sukses dan bahagia.
Sebenarnya, aku tidak mau mengumbar kalimat motivasi yang menurutku sendiri adalah bentuk kebohongan yang menghibur.
Kalimat semacam itu menyembunyikan fakta bahwa sikap keras cenderung muncul sebagai makna negatif di masyarakat karena timbulnya ekspresi ketidakpastian, keputusasaan, dan kecemasan.
Dan aku nyaris putus asa memikirkan jeratan kemiskinan yang sangat siap memeluk orang-orang.Â
Orang mungkin menyalahkanku sebab mendasarkan nilai dari titik negatif. Tetapi, realita sosial yang sangat anggun memperlihatkannya di hadapan kita. Kemiskinan menghalangi segala kemajuan dan cita-cita, tetapi kita sanggup mencintainya.
Bapak mengajarkan kami sejak belia supaya mau mengorbankan kesenangan. Ada sesuatu yang lebih besar di depan kami, yang harus kami perjuangkan hari ini.