Meski aku sebenarnya telah mempersiapkan diri untuk memberikan ruang pembicaraan, tetapi Bapak seperti telah menunggu untuk langsung mengetahui pengumumannya dariku.
"Brawijaya? Di mana itu?" Bapak membuka pertanyaan.
"Di Malang, Pak," Â jawabku sambi mendorong pintu tertutup setibanya di rumah.
"Kok jauh kali, kenapa nggak ambil USU atau Unimed?"
"Cuma ini yang aku diterima. Mau di tempat lain, belum rejeki."
Semua terucap begitu saja di antara kami. Lagi-lagi, apa yang aku cemaskan ternyata berakhir dengan ketidakdugaan. Pembicaraan berlangsung teramat cair, seperti obrolan sehari-hari tanpa memiliki tujuan.
Akan tetapi, dari sini, perlahan-lahan Bapak menunjukan gelagat berubah dari keyakinan luar biasa menjadi sebuah keraguan. Aku bisa melihat sesuatu yang menempatkan penolakan pada rencana yang sudah seharusnya terjadi.
"Baguslah, berarti semakin mantap jalanmu ke depan. Di jurusan apa?"
"Sastra Prancis."
"Ah, kok lain pilihanmu. Mau jadi apa nanti di Sastra Prancis, kau"
"Pasti ada aja jalan, Pak."