Orang berhak jengkel melihat perilaku pesepeda yang tidak tahu aturan. Tetapi kegiatan bersepeda, suka atau tidak suka, memiliki kontribusi besar untuk mengurangi polusi udara dan polusi suara dari kendaraan.
Jika hujatan terhadap pesepeda terlalu lama dibiarkan, meski dianggap sepele, kekhawatirannya ialah bakal menciptakan labeling yang kemudian melahirkan persepsi buruk terhadap pesepeda.
Tentu kita tidak ingin sisi positif bersepeda berubah buruk sehingga mendorong pemerintah bertindak dengan mengeluarkan aturan baru atau merevisi aturan demi menangani pesepeda.
Demikian pula kepada pembela. Tidak perlu membandingkan perilaku warga Indonesia dan warga di belahan Eropa Barat yang memberi toleransi tinggi terhadap pesepeda.Â
Jelas, itu contoh yang tidak sepadan. Warga urban Eropa punya basis sejarah dan pengalaman lama yang menguatkan budaya bersepeda. Lagipula, orang di sana pasti berpikir dua kali untuk mau bersepeda di jalan raya besar di luar jalurnya.
Menerima kemarahan orang lain dan mengakui kesalahan diri sendiri adalah perkara pelik kehidupan.
Penulis berpandangan, ketimbang berharap pengendara motor dapat toleransi terhadap pesepeda, alangkah lebih bermanfaat bila pesepeda menaati aturan tanpa perlu "memberontak" terhadap pengendara bermotor. Â
Warga Indonesia sudah terbiasa nyaman berkendara motor dan mempengaruhi banyak aktivitas vital.Â
Karena itu, bukan perkara mudah untuk menggeser kebiasaan terhadap sesuatu yang baru. Orang memilih apa yang menguntungkan daripada apa yang baik.
Walau demikian, kegiatan bersepeda tetap dibutuhkan di Indonesia sekalipun risiko penolakan tetap ada.
Bila kampanye positif bersepeda terus dihadirkan, niscaya, risiko penolakan dan perdebatan yang didapati tidak sampai membuat orang sakit gigi menanggapinya.