Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu meminta masyarakat menggaungkan cinta produk dalam negeri sekaligus membenci produk luar negeri. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan dan tafsir berbeda bagi sejumlah kalangan.Â
Beberapa Kedubes RIÂ di negara luar harus kerepotan menjelaskan pernyataan Presiden.Â
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai ungkapan benci produk luar negeri bisa berdampak pada hubungan Indonesia dengan negara-negara luar. Meski terkesan heroik, ucapan tersebut dapat merepotkan kedutaan-kedutaan besar dalam menyampaikan informasi ke negara mereka.
Muncul asumsi, apakah pernyataan benci produk asing menandakan arah kebijakan menuju proteksi perdagangan seperti yang dilakukan AS terhadap China?
Dugaan proteksionisme agaknya masih terlalu dini. Belajar dari perang dagang AS-China, proteksi bukan pilihan ideal. Kita hampir tidak mungkin sepenuhnya menghentikan impor produk dari luar negeri. Mengapa demikian?
1. Perdagangan internasional
Alasan pertama mengapa kita tidak mungkin lepas dari importasi adalah masalah hubungan internasional. Kita saat ini berada dalam rantai pasok global yang membuat satu produk mengandung banyak komponen dari negara luar.
Indonesia sudah memiliki sejumlah perjanjian dagang baik bilateral ataupun multirateral. Sekarang, Kementerian Perdagangan tengah mengupayakan menyelesaikan 11 perjanjian dagang baik dalam bentuk Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), dan sebagainya.
Sebelas perjanjian dagang yang ditargetkan selesai tahun ini adalah:
1. Indonesia-European Union CEPA
2. Indonesia-Turkey CEPA
3. Indonesia-Pakistan TIGA (Trade in Goods Agreement atau peningkatan dari PTA)
4. Indonesia-Bangladesh PTA
5. Indonesia-Tunisia PTA
6. Indonesia-Iran PTA
7. Indonesia-Mauritius PTA
8. Indonesia-Morocco PTA
9. Asean Economic Community dan Asean-India FTA (AIFTA)
10. Review ASEAN-India FTA (AIFTA)
11. Review ASEAN-Australia-New Zealand FTA
Dengan melihat gigihnya Indonesia menyelesaikan sejumlah perjanjian dagang, maka kesimpulan bahwa Indonesia menuju proteksionisme boleh dikatakan kurang tepat.