Sejenak, kita pinggirkan kemacetan di jalan raya, banjir yang tak tahu kapan habisnya, dan cita-cita kita. Ada fenomena yang luput, barangkali sengaja kita lalaikan, dalam membangun cerita hidup.
Seperti rakyat kecil di bumi ini, humanisme selalu berada paling belakang. Namun semudah itukah memahami letak posisi ini?Â
Humanisme berarti --isme dari manusia sebagai pusat segalanya. Cogito ergo sum, kata Descartes, "Aku berpikir maka aku ada." Ungkapan ini menunjukkan kepada kita sebuah tindakan (berpikir) mempertegaskan ke-ada-an itu sebagai aku. Â Aku 'ada' selama aku memang berpikir. Dengan rasio, dunia hanya akan terungkap sebab aku memikirkannya.
Bagi penulis, muncul pertanyaan sederhana untuk sebuah jawaban yang hampir berabad-abad lamanya tak pernah terungkap jelas. Siapakah manusia itu? Aku sebagai yang 'ada' harus 'berpikir', bila sedang tidur, lantas, apakah aku ini tetap 'ada'?Â
Aku sebagai subjek, aku sebagai manusia. Manusia sebagai yang 'ada' kemudian melegitimasi dirinya sebagai subjek. Demikian penulis melihat yang 'ada' tersebut sebagai wujud manusia itu sendiri.
Bagi filsuf Modern Thomas Hobbes, pendapat tersebut ditertawakannya. Manusia, katanya, serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus). Manusia ada karena ia memangsa, menaklukan manusia lainnya. Bukan Hobbes saja yang memberikan definisi manusia. Bermacam-macam pendapat lahir ke alam fana tempat kita hidup. Manusia seakan-akan tak pernah habis. Â
Lagi, manusia adalah makhluk tertawa (homo ridens), makhluk yang berkesinian (homo aestheticus), manusia beragama (homo religious), makhluk yang bekerja (homo faber, homo laborans).
Inilah humanisme. Dalam pencerahan (aufklarung), dia adalah salah satu wajah modernisme yang anggun. Ilmu pengetahuan berkembang, maju pesat, manusia mulai meninggalkan tradisi agama yang dianggap usang dan menjenuhkan. Rasio dalam sains mulai mendapat tempat mulia di atas manusia itu sendiri!
Begitulah manusia, tampak kecil, agung dan misteri. Memahaminya sama sukarnya dengan Tuhan sendiri. Dalam postmodernisme, keagungan dan misteri manusia semakin luas maknanya lalu beranak-pinak tujuh keturunan ke bawahnya. Filsafat tentang manusia semakin terpojokkan. Kontradiksi itulah, bagi penulis, wajah humanisme yang sekarang ini berdiri atau bersembunyi di balik tragedi.
Penulis menyederhanakan luasan topik humanisme tersebut ke dalam suatu pandangan absurditas dan pemberontak yang pernah dijabarkan oleh Albert Camus, sastrawan awal abad ke-20. Perlu dipahami, Camus adalah sama dengan penulis dan sastrawan Prancis lainnya yang tidak pernah mengkalim terang-terangan dirinya sebagai seorang filsuf maupun sastrawan humanisme. Analisa dan pembacaan atas karyanyalah yang menggerakkan naluri kita dan beberapa penulis lain meletakkan mahkota humanisme itu.
Manusia sebagai Subjek
Manusia hadir sebagai subjek. Dialah (subjek) yang pertama hadir, mengatur yang lain. Tuhan telah mati (Got ist tott) dan kitalah pembunuhnya, kata Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan pandangan nihilisme yang cukup banyak tergambar dalam absurditas.Â