Investor pun tampaknya akan tetap wait and see untuk memastikan situasi politik dalam negeri pascapilpres kembali normal meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup hijau pada sore ini, menguat 44,25 poin (0,74%) ke 5.951,372.
Tantangan ke depan
Jokowi setidaknya masih akan berkutat pada persoalan ekonomi dalam negeri. Modal tenaga kerja akan diperkuat dan akan dijadikan prospek jangka panjang sebagaimana tema kebijakan fiskal 2020 APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inivasi dan Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia.
Namun, perhatian lebih serius setidaknya perlu ditujukan untuk mencermati neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 yang mengalami defisit 2,50 miliar Dollar AS yang terparah sejak Indonesia merdeka.
Dikutip dari rilis pers Bank Indonesia, Defisit tersebut dipengaruhi oleh peningkatan impor migas dari 1,52 miliar dolar AS pada Maret 2019 menjadi 2,24 miliar dolar AS pada April 2019. Peningkatan terjadi pada seluruh komponen, yakni hasil minyak, minyak mentah, dan gas, seiring dengan peningkatan baik harga impor maupun volume impor minyak dan gas.
Sementara itu, ekspor migas tercatat menurun dari 1,14 miliar dolar AS pada Maret 2019 menjadi 0,74 miliar dolar AS pada April 2019. Penurunan ekspor migas terutama terjadi pada komponen hasil minyak dan gas, sejalan dengan menurunnya volume ekspor kedua komponen tersebut.
Sejauh ini, Jokowi menanggapi persoalan defisit neraca perdagangan dengan penguatan hilirisasi, termasuk penguatan produksi barang substitusi impor seperti avtur yang dikatakan Jokowi tidak perlu lagi dilakukan pada bulan depan.
Menarik untuk menanti langkah strategis dari Jokowi di periode keduanya sebab ia saat ini tidak lagi berada di level penyebab atau efek tetapi boleh dikatakan ‘harus’ menjadi sumber referensial kebijakan ekonomi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H