Adanya cap atau label diperlukan untuk memudahkan seseorang mengetahui dan mendefinisikan keruwetan realita dan fenomena. Semisal, si Fulan membeli 3 nasi goreng kepada teman-temannya, namun dua orang temannya ingin diberi tambahan telur ceplok. Karena kemasan makanan sama, maka Fulan memberi label berupa karet merah untuk nasi goreng tanpa telur.
Ketimbang harus membuka satu per satu kemasan, si Fulan berpikir akan lebih praktis memakai warna karet untuk membedakannya. Teman-teman si Fulan tidak perlu repot memeriksa satu per satu kemasan nasi goreng, mengaduk dan menyelidiki isi nasi goreng untuk memastikan tidak ada telur goreng dalam nasi goreng tersebut.
Sesederhana itulah cap atau label bekerja sampai merembet terhadap persoalan ideologi dan selera. Jika seseorang nampak mengesankan diri sebagai pendukung Jokowi, maka dicaplah sebagai cebong, begitu sebaliknya ketika berhadapan dengan pendukung Prabowo yang dikenal sebagai kampret. Fenomena ini seolah memberi penjelasan bahwa Pilpres saat ini hanya mengakomodir dua label: cebong dan kampret.
Itu soal selera, lain hal dalam menyindir cara berpikir: akal sehat dan dungu. Diksi ini populer setelah akademisi Rocky Gerung bertahun-tahun gemar menuduh orang-orang yang kurang memaksimalkan nalarnya dalam berpikir dan membuat keputusan sebagai si dungu.
Sebenarnya, dalam keadaan alamiah, semua orang berpotensi dungu atau memang benar-benar dungu akibat sejarah orang tersebut. Namun karena keberadaan Rocky Gerung yang merupakan oposisi pemerintah, label dungu sering dilekatkan pada pendukung Jokowi.
Sangat teramat sangat boleh dikatakan bahwa keadaan masyarakat Indonesia saat ini memang dihadapkan pada cap atau label besar: cebong, kampret dan dungu. Jika bukan kampret, ya cebong. Jika bukan cebong, ya kampret. Jika ada yang mengamuk, ya dungu. Sesederhana itu.
Sebagian orang yakin bahwa label cebong, kampret, dan dungu bakal hilang selepas Pilpres. Tapi naga-naganya itu mustahil. Saya sempat beberapa kali mendengar imbauan dan nasihat pejabat, tokoh-tokoh agama, negara, dan masyarakat yang meminta para pendukung masing-masing paslon untuk berhenti mengatakan lawan mereka sebagai cebong atau kampret. Mereka yakin bahwa cara demikian bakal memberikan kualitas Pemilu 2019 yang sehat, aman dan damai, sekaligus mengurangi potensi munculnya gesekan atau perpecahan di tengah masyarakat. Tapi kenyataannya, ya begitu, tidak juga mempan. Hahaha.
Nah, setelah cebong, kampret dan dungu, baru-baru ini ada satu label yang menggentayangi masyarakat Indonesia, terlebih warganet Twitter. Label baru itu adalah domba.
Kepada siapakah label domba itu disematkan? Jawabannya dapat diketahui melalui postingan Instagram drummer Superman Is Dead, Jerinx. Sebab dialah orang pertama yang mencetuskan kata tersebut melalui postingan di Instagram, kemarin (2/2/2019). Singkat cerita, domba itu adalah julukan untuk pendukung Anang-Ashanty.
“Fans Anang Ashanty gak lebih dari sekumpulan domba penakut yg beraninya cuma main report. Sama kaya majikannya, dikit-dikit lapor...” isi beberapa bait dari keterangannya di Instagram.
Postingan tersebut sudah hilang diduga akibat serangan report dari warganet, namun beberapa warganet yang mendukung mulai memakai istilah domba untuk melabeli kelompok seberang.