Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Di Tengah Kejayaan, Sang Raja: Aku Takut Revolusi

29 Desember 2018   14:49 Diperbarui: 30 Desember 2018   23:15 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pujian itu melenyapkan keraguan yang sempat melintas di dalam kepala Sayandra. Dia memandang langit yang memanjang di balik tirai sutra. Hujan telah ditukar panas matahari setelah awan gelap melambung sejak jam 5 pagi tadi. Dia menyandarkan punggung lebih kuat pada kursi.

"Kau belum memujiku dalam hal keberanian."

"Saya tidak meragukannya."

"Tetapi kau benar dalam satu hal, aku mewarisi sifat Ibuku. Lalu, bagaimana kau menjelaskan kontradiksi ini, seekor serigala yang mengalah untuk memberikan daging buruannya kepada anak-anak kerbau? Bukankah anak-anak kerbau itu kelak akan tumbuh dan menjadi mangsa bagi kawanan serigala pula?" ucap Sang Raja.

"Saya sesungguhnya tidak mendapat gambaran atas penjelasan Anda, Yang Mulia..." balas Gaus sebelum Sayandra menyela perkataannya.

"Serigala itu telah diciptakan sebagai pemangsa, kau tahu, bangsawan dan menteri menjadi serigala dengan sangat kelaparan menerkam rakyatku."

"Maaf, saya harus mengatakan, Anda terlampau jauh memikirkan kekeliruan itu."

Sayandra semakin bergairah dalam mengungkapkan kegelisahannya.

"Keuntungan itu sangat menggiurkan tetapi 40 persen harus dipajakkan untuk menambah kas negara sebanyak jumlah pabrik dan perkebunan itu. Mereka, pengusaha, tuan tanah, bangsawan, orang-orang licik yang telah memanfaatkan resolusiku. Kau harus tahu, mereka telah merampas sejengkal demi sejengkal tanah dan secara sembunyi-sembunyi telah membangun kekuasaan baru di atas tanah itu. Sementara rakyatku menarik udara dari cerobong asap dan menelan buah busuk dari perkebunan yang jumlahnya tiga ribuan itu karena yang satu telah menjual tanahnya kemudian menjadi buruh, kemudian menyesal sampai harus menjual rumah untuk membelinya kembali. Mereka mengantongi uang itu namun kematian datang lebih cepat."

Sayandra membuka mulut, memasukkan udara yang dingin dalam sekali tarikan lalu kata-kata lain diucapkannya lebih panjang. Ia meluapkan kemarahannya dengan sangat tenang.

"Semua pemilik pabrik dan perkebunan semakin tercekik karena kenaikan upah dua kali lipat. Sebagai jaminan, aku harus menyetujui keinginan mereka untuk memperoleh tanah yang lebih banyak. Mereka, aku katakan sekali lagi kepadamu, adalah orang-orang licik. Mereka telah memberikan sebuah ancaman kepadaku, kemiskinan," kata Sayandra menjelaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun