Pada hakikatnya, perubahan atau revolusi apapun, tampaknya akan terus dihantui bayang-bayang diskriminatif: aku dan yang lain.
Kembali pada soal keniscayaan. Kami berbincang dalam perjalanan, duduk di deretan tiga bangku bis ekonomi. Membicarakan idealisme wartawan dan jurnalisme dalam ruang kecil. Bukan di seminar atau gedung perkuliahan.
Agak-agaknya karena langka mendapatkan ruang dan waktu untuk berbicara mimpi atau narasi besar. Apapun itu, bicaralah secukupnya. Poin-poin penting. Titik.
Masih tentang keniscayaan dan harapan. Ketika Dwi Hartanto mengakui kebohongan-kebohongannya, sebagian besar orang menghujatnya. Dia brengsek. Dwi tidak dapat mengelak dari ucapan-ucapan sadis di dunia maya atau realita yang sebenarnya.
Tidak usah menalar kritis, apalagi mendebatkan moral dan etika ilmiah. Semua sudah terselesaikan oleh nalar kesimpulan. Dia salah, maka marilah menghujatnya.
Namun, ada satu yang luput dari pengamatan kita. Dia menuliskan dosa-dosanya. Disadari atau tidak, sesadis apapun ucapan orang-orang kepadanya, dia telah menanamkan harapan. Masih ada harapan yang tersisa untuk kita.
Orang-orang akan membaca dosa-dosanya dan mau belajar dari kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan Dwi.
Orang-orang demikian akan membincangkannya dalam ruang-ruang kecil. Sebab, langka sekali mendapatkan ruang dan waktu, bahkan hampir tidak mungkin, untuk berbicara rekonsiliasi atas dunia keilmuan yang tercoreng akibat kelakuan Dwi.
Jangan-jangan mereka yang berpikir kritis akan persoalan ini khawatir disimpulkan sebagai kaum pembohong yang sejajar dengan Dwi. Dan yang lebih menakutkan: Dibully netizen. Tapi, hal ini tidak akan merobohkan harapan dan keniscayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H