Saya cukup beruntung dapat menyaksikan langsung raut-raut wajah mahasiswa baru dalam kurun waktu empat tahun belakangan. Rona yang beragam, sebagian menunjukkan kelesuan, ada yang memberi senyum, ada yang menaruh sinis, dan ada juga tertawa selepas rangkaian Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMABA) Universitas Brawijaya.
Saya juga tidak menyangka bahwa di balik amuk dan garang yang ditampilkan para senior, dalam beberapa situasi mereka mampu bersenda gurau dan bercerita hal yang menyenangkan. Ada kalanya terselip wajah normal kehidupan kampus di tengah rangkaian PKKMABA.
Memang, selepas rangkaian pengenalan ini, mahasiswa baru akan berbaur dengan mahasiswa lain, pengajar, dan seluruh warga Universitas Brawijaya. Sewajarnya dalam ranah akademis tidak ada istilah mahasiswa baru. Toh, semua sivitas akademika berada sejajar untuk mengembangkan cakrawala pengetahuan.
Atau pahit-pahitnya, barangkali sekitar satu-dua semester suasana berbeda dari biasanya. Masih ada rangkaian penyambutan yang harus dipatuhi mahasiswa (lama) dan mahasiswa baru. Mungkin juga dalam kurun waktu tersebut suasana mulai mencair, menjadi tidak ada sekat-sekat per angkatan.
Di luar perkuliahan, akan ada diskusi, kegiatan organisasi, kepanitiaan, dan tugas ilmiah lainnya. Segala ketentuan akademik yang disampaikan melalui materi di awal pengenalan kehidupan kampus hanyalah hal biasa. Jika lupa, bukalah buku pedoman akademik. Selesai urusan.
Yang menjadi perhatian dan perlu penalaran kritis adalah wacana yang menghembus ranah akademis. Jika dibilang berbau politik, memang demikian adanya. Apalagi suasana sekarang masih hangat akan nuansa kemerdekaan.
Ditambah lagi kecerobohan negara Malaysia yang membalikkan bendera Merah Putih dalam perhelatan SEA Games dan berbagai langgam kecurangan beberapa hari lalu. Di titik inilah nadi-nadi nasionalisme diajak untuk berdenyut kencang.
Kampus tidak dapat dilepas dari persoalan semacam ini. Kita tahu bahwa seluruh kader partai dan pejabat negara merupakan para aktivis kampus yang berjuang dalam masanya.
Tapi awas kebablasan. Jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan semua untuk memahami batas berdemokrasi. Berpendapat, berkegiatan, dan bertindak juga harus memperhatikan kebebasan yang dimiliki orang lain.
Kita tidak dapat memungkiri keadaan bahwa sebagian besar sivitas akademika tidak dapat menikmati nasionalisme yang ada, yang tidak memperoleh kesempatan untuk menyampaikan suara. Mereka adalah orang-orang asing di kampus.
Mereka bukanlah orang-orang yang berjalan melawan arus, tetapi memang merasa aneh dengan suasana yang ada saat ini. Dapat juga kita temui model-model pengasingan yang mewujud dalam bentrokan bahkan sampai menghujat dan merendahkan satu sama lain. Hal yang tentunya tidak mungkin diceritakan di atas mimbar akademis.