Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahasiswa Otentik ala Hannah Arendt

22 Agustus 2017   02:04 Diperbarui: 22 Agustus 2017   12:07 1957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hannah Arendt (Sumber: fredstein.com)

Saya cukup beruntung dapat menyaksikan langsung raut-raut wajah mahasiswa baru dalam kurun waktu empat tahun belakangan. Rona yang beragam, sebagian menunjukkan kelesuan, ada yang memberi senyum, ada yang menaruh sinis, dan ada juga tertawa selepas rangkaian Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMABA) Universitas Brawijaya.

Saya juga tidak menyangka bahwa di balik amuk dan garang yang ditampilkan para senior, dalam beberapa situasi mereka mampu bersenda gurau dan bercerita hal yang menyenangkan. Ada kalanya terselip wajah normal kehidupan kampus di tengah rangkaian PKKMABA.

Memang, selepas rangkaian pengenalan ini, mahasiswa baru akan berbaur dengan mahasiswa lain, pengajar, dan seluruh warga Universitas Brawijaya. Sewajarnya dalam ranah akademis tidak ada istilah mahasiswa baru. Toh, semua sivitas akademika berada sejajar untuk mengembangkan cakrawala pengetahuan.

Atau pahit-pahitnya, barangkali sekitar satu-dua semester suasana berbeda dari biasanya. Masih ada rangkaian penyambutan yang harus dipatuhi mahasiswa (lama) dan mahasiswa baru. Mungkin juga dalam kurun waktu tersebut suasana mulai mencair, menjadi tidak ada sekat-sekat per angkatan.

Di luar perkuliahan, akan ada diskusi, kegiatan organisasi, kepanitiaan, dan tugas ilmiah lainnya. Segala ketentuan akademik yang disampaikan melalui materi di awal pengenalan kehidupan kampus hanyalah hal biasa. Jika lupa, bukalah buku pedoman akademik. Selesai urusan.

Yang menjadi perhatian dan perlu penalaran kritis adalah wacana yang menghembus ranah akademis. Jika dibilang berbau politik, memang demikian adanya. Apalagi suasana sekarang masih hangat akan nuansa kemerdekaan.

Ditambah lagi kecerobohan negara Malaysia yang membalikkan bendera Merah Putih dalam perhelatan SEA Games dan berbagai langgam kecurangan beberapa hari lalu. Di titik inilah nadi-nadi nasionalisme diajak untuk berdenyut kencang.

Kampus tidak dapat dilepas dari persoalan semacam ini. Kita tahu bahwa seluruh kader partai dan pejabat negara merupakan para aktivis kampus yang berjuang dalam masanya.

Tapi awas kebablasan. Jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan semua untuk memahami batas berdemokrasi. Berpendapat, berkegiatan, dan bertindak juga harus memperhatikan kebebasan yang dimiliki orang lain.

Kita tidak dapat memungkiri keadaan bahwa sebagian besar sivitas akademika tidak dapat menikmati nasionalisme yang ada, yang tidak memperoleh kesempatan untuk menyampaikan suara. Mereka adalah orang-orang asing di kampus.

Mereka bukanlah orang-orang yang berjalan melawan arus, tetapi memang merasa aneh dengan suasana yang ada saat ini. Dapat juga kita temui model-model pengasingan yang mewujud dalam bentrokan bahkan sampai menghujat dan merendahkan satu sama lain. Hal yang tentunya tidak mungkin diceritakan di atas mimbar akademis.

Kita tidak menginginkan bahwa suasana seperti ini yang bertumbuh di ruang akademis. Pembungkaman yang samar-samar. Ambil contoh sederhana, semisalnya jargon Enterpreneur University akan mengasingkan mahasiswa-mahasiswa lain yang menempuh jalan berbeda. Atau hal-hal lain yang pada intinya adalah pilihan setiap sivitas akademika.

Saya mencoba untuk mendekati fenomena ini pada pemikiran Hannah Arendt, filsuf sekaligus penulis, agar kita tidak bertindak atas dasar ketidakpahaman atau prasangka yang justru akan memperkuat dikotomi antara yang kuat dan dominan di satu sisi dengan yang lemah dan terdeterminasi di sisi lain. Gagasan yang tampaknya relevan untuk semua mahasiswa Perguruan Tinggi manapun.

Pemikiran Arendt tidak dapat dilepaskan dari keterasingan yang diterimanya. Ia terlahir sebagai seorang Yahudi, kaum yang amat dibenci semasa Nazi berkuasa di Jerman. Tatkala Nazi semakin gencar 'membersihkan' komunitas Yahudi, ia pun mengungsi ke Amerika.

Namun, Arendt tidak lantas menyimpannya sebagai dendam yang harus dibalaskan. Malahan yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam laporan Eichmann in Jerusalem pada New York Times, ia justru menyalahkan para pemimpin Yahudi yang diam ketika Nazi melancarkan genosida, yang sibuk untuk membentuk negara Israel. Laporan inilah yang membuatnya dibenci oleh komunitas Yahudi dan teman-temannya.

Pengadilan terhadap Eichmann tidak akan mengubah sejarah itu sendiri. Eichmann yang telah melakukan tindakan 'iblis' justru terlihat tenang di hadapan pengadilan tanpa menunjukkan perasaan bersalah. Bagi Arendt, Eichmann dan orang Nazi lainnya bukanlah orang bodoh sebab mereka melakukan semua kejahatan itu sebagai rutinitas.

Dari sinilah Arendt lalu menyimpulkan ketidakberpikiran atau absennya pikiran (Gedankenlosigkeit) mampu merubah seseorang menjadi monster. Banalitas dapat menjangkit semua orang selama ia tidak mampu menggunakan imajinasinya. Orang cerdas dan terdidik sekalipun dapat menjadi banal selama pikirannya telah dibengkokkan oleh sistem dan common sense.

Jika direfleksikan, fenomena lama ini dapat ditemukan dalam wajah-wajah baru modernisme sekarang. Di tengah gejolak politik, para aktivis mahasiswa harus bertindak atas prinsip kemanusiaan dan keadilan yang berjiwa akademis, yang tidak sekadar tunduk 'manut-manut wae' pada aturan atau perintah jajaran tertinggi organisasi.

Pada titik tertentu, ada kekhawatiran dimana gejolak totalitarisme mampu membuat insan-insan terdidik menjadi 'monster' dari sudut pandang lain. Ini bukan bualan, sebab Heidegger dengan kemampuan berpikir dan gagasan besar yang dicetuskannya di awal abad ke-20 ternyata turut mengambil bagian dalam kegiatan Nazi. 

Dewasa ini, tindakan mengerikan itu tidak mutlak seperti yang pernah dilakukan Nazi pada masa silam. Sekarang, ia dapat berupa perendahan martabat seseorang atau penghujatan yang secara perlahan-lahan menjatuhkan martabat dan kemanusiaan seseorang. Perilaku ini amat rentan terjadi di tengah penyebaran pesan dan informasi yang semakin cepat.

Saya menuliskan ini kepada mahasiswa baru, cendekia yang kelak menikmati iklim kemahasiswaan untuk mampu menghentingkan batin, mengambil waktu dan jarak dari sekitar. Tidaklah mau menjadi seorang yang hampa tanpa perintah, tidaklah mau menjadi orang-orang mimesis yang hanya meniru sistem, yang kemudian merasa senang ketika menghujat orang-orang yang berbeda, atau yang mencintai satu sosok atau pandangan (ideologi) secara membabi buta.

Jadilah mahasiswa yang mencintai kebebasan berpikir dan berpendapat, bukan kebebasan elitis. Lakukanlah secara diam-diam tanpa seorangpun mengetahuinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun