Akhir-akhir ini sesak napas wacana Hak Angket KPK mengudara di tengah masyarakat. Pergolakan politik yang tidak menentu arah. Bukan main hebatnya, bahkan kali ini lebih menakjubkan sebab tidak sedikit elit DPR, golongan, pihak, kaum, kelas, umat atau jemaah yang menyatakan 'pro' terhadap angket.Â
Mereka yang menggagas hak angket hendak menggambarkan bahwa narasi anti-korupsi yang digarap KPK adalah narasi lipstik yang tengah diguyur hujan, luntur dan hilanglah cerahnya.
Sepertinya beberapa pihak lupa masa lalu. Dahulu ketika KPK memberi sinyal agar was-was, manut 'patuh', kita pun was-was. Kala itu banyak pihak sepakat bahwa KPK sedang dilemahkan sesaat Abraham Samad dipidana.Â
Curiganya, jangan-jangan penggantinya sudah tercampur aduk oleh kepentingan. Namun, pendapat ini hanyalah isapan jempol belaka. Agus Rahardjo dan kawan-kawan malah mengalami masa-masa yang tidak kalah pelik dan menantang: teror yang dialami Novel Baswedan dan perampungan dugaan megakorupsi E-KTP.
Sekarang wacana pelemahan hadir kembali melalui episode Hak Angket. Boleh jadi mereka yang pro menganggapnya masuk akal sebab banyak yang tertangkap tangan, namun tidak diikuti pada penurunan perilaku korup pejabatnya. KPK semakin banal, tangkap sana tangkap sini.
Perihal pencegahan korupsi, ajakan memberantas budaya korupsi, sekiranya ini juga keliru. Manusia, disadari atau tidak, memiliki hasrat dan potensi untuk berperilaku korupsi. Mengikuti Arendt, 'ketidakberpikiran' oranglah yang membuatnya jatuh ke dalam praktik korupsi.
'Ketidakberpikiran' dapat menjangkiti siapapun, terutaman orang-orang berpikiran picik untuk membuat jebakan. Maka, sulit memastikan bahwa mereka, terpidana korupsi, yang menginap di hotel prodeo adalah benar-benar bersalah. Semisal Dahlan Iskan tidak mengetahui bahwa niat dan sumbangannya justru dapat ditafsirkan sebagai tindakan korupsi?Nasarudin, mantan Bendahara PD pun terlebih dahulu telah merasakan petaka dalam permainan politik yang siapapun tidak terlalu menganggapnya serius.
Maka Pansus Angket terdorong untuk mencari pola jebakan-jebakan tersebut di LP Sukamiskin, mungkin.
Memang KPK mempunyai wewenang untuk menahan seseorang. Sayangnya tidak banyak yang mengerti proses hukum sampai seseorang menjadi terpidana. Publik hanya mengetahui terbatas pada aksi OTT yang kerap mengisi layar kaca dan sampul depan surat kabar. Maka, tidak mengeherankan kealpaan tersebut dimanfaatkan menjadi bola panas. KPK dicurigai.
Khalayak bingung mana yang benar dan mana yang palsu. Di tengah ketidakmenentuan ini, orang-orang berusaha mencari pintu keluar secepat mungkin dari Labirin.
Tiga hari lalu, muncul angket mengenai sosok presiden yang dianggap layak memimpin Indonesia. Angket itu tersebar di twitter dua hari lalu, digagas oleh @dulatips, dan telah mengantongi 9000 suara lebih. Joko Widodo atau Fahri Hamzah? Mayoritas, 84% suara, memilih Fahri Hamzah. Padahal FH adalah sosok yang bersuara keras untuk merevisi tubuh KPK. Orang yang dianggap sehati sejiwa dengan pihak yang berupaya melemahkan KPK.