Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jiplak Sastra dan Nikmat Disiksa

18 Juni 2017   04:08 Diperbarui: 18 Juni 2017   07:10 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah Afi menurunkan ‘Warisan’, beberapa orang, mungkin juga Anda, sedang memahami batin apa di dalam gadis tersebut. Ada beragam reaksi, menyentuh mereka yang menyatakan setuju dan mereka yang melayangkan keberatan.

Judul, berikut juga muatan di dalamnya harus dibongkar hancur-hancur. Tidak usah terlalu jauh membahas dengan metode ketat dan segala teori sastra di dalam kandungannya. Tengok konteks kita beberapa waktu belakangan ini. Kata ‘Agama’ sudah cukup menggertak. Dan dari sini asal-mula dapat terjadi, termasuk sanggahan, kritik, dan pelanggaran lain yang sedikit demi sedikit mulai terendus.

Taruhlah bahwa pembaca adalah kalangan dengan sudut pandang dan kaca mata yang berbeda-beda. Kita tidak hanya menemukan satu makna dari ‘Warisan’, yang tidak sebatas pada perbaikan norma-norma dan moral manusia. Sebagian lain berbicara akan kemanusiaan. Mereka menampakkan diri sebagai orang-orang yang telah tersentuh denyut-denyut romantis. Mungkin ini hasil baik dan positif dalam apresiasi puisi, namun pada titik tertentu orang-orang romantis tersebut akan beradu moral dengan yang lain dalam pikiran dan bayangan mereka.

Saya tidak akan membahas jauh urusan tafsir-menafsir. Selain karena pengetahuan yang belum memadai, yang nantinya menunjukkan ketidaktahuan saya, juga ruang digital yang runyam dalam memberi ujung kerucut dari tujuan penafsiran.

Persoalan yang agak enak dibahas dari puisi-puisi Afi adalah percintaan kita kepada dunia sastra. Saya dapat menemukan kegilaan kita dalam usaha menguasai keindahan dan alam yang dihadirkannya. Kenikmatan yang semata-mata dipersembahkan untuk ego telah menggeser peran Afi selaku subjek dan penguasa atas puisi. Lagi pula, kehadiran subjek atau pengarang seharusnya tidak perlu lagi dipersoalkan karena setiap orang telah menikmati muatan-muatan plus makna atas puisinya. Kenikmatan adalah tanggung jawab setiap pembaca.

Keinginan untuk menguasai kenikmatan telah memperlihatkan wajah-wajah pembaca, bagaimanapun kita menyangkalnya. Dalam bahasa lain, penjiwaan atas karya sastra telah melampaui segala kemungkinan yang terjadi – saya lebih memilih memakai kenikmatan ketimbang penjiwaan. Selanjutnya, reaksi dan tindakan telah terdorong oleh hasrat sehingga topik yang mengudara adalah penjiplakan yang dilakukan oleh Afi.

Saya sendiri kecewa ketika perkara penjiplakan telah menempati banyak slot berita media daring. Meskipun hak cipta merupakan satu persoalan yang diperbincangkan serius, apakah kita harus serius membeberkan hal ini sementara masih bertanya dimana semangat literasi dan minat sastra masyarakat?

Belum habis soal kreatifitas, campur aduk penjiplakan ini menjadi hantu yang meneror hati siapapun. Alih-alih menimbulkan kewaspadaan, bukan tidak mungkin seseorang pada akhirnya memilih untuk diam. Bukankah diam adalah emas? Atau was-was seperti peribahasa Jawa mengingatkan Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Ciloko?

Namun, tidaklah tepat apabila kita menjadikan penjiplakan sebagai acuan dalam menikmati bait-bait yang ditulis. Akan sama sesatnya ketika nyata-nyatanya kita menikmati ‘puisi jiplak’ itu demi memenuhi hasrat kita akan keindahan sastra. Sastra adalah sesuatu yang indah, demikian wajah-wajah menjadi merah merona ketika dihadapkan kepadanya sebuah karya sastra.

Saya sungguh mengkhawatirkan bahwa hantu-hantu penjiplakan akan menancapkan tiang-tiang penjara di atas setiap meja tulis. Pada akhirnya kita akan menyaksikan sebuah 'keraguan' luar biasa menjadi 'raja' setiap kali menikmati sastra. Hasrat telah kehilangan badannya yang indah. Pembaca akan menyanjung tinggi-tinggi sebuah penyiksaan, rasa sakit yang teramat sangat. Sakit dan derita adalah pujian. Itulah hasrat yang kita mengerti, semakin ia menyiksa pengarang semakin terasa asanya. 

Dan sekarang kita menanti-nanti apa yang terjadi pada Afi, si pengarang puisi.  Iba dan simpati atas beberapa ancaman dan kecaman untuknya. Sebagian juga merasa menang. Semua ini adalah hasrat. Entahlah apakah kita menempatkan Afi sebagai  bagian dari struktur 'Warisan' yang dituliskannya, namun yang sunguh terjadi kita sudah terlampau jauh menikmatinya. Puisi itu sudah terlunta-lunta, pengarangnya dikuasai oleh pembacanya. Sekarang, sastra telah disediakan di hadapan Anda, bertanggungjawablah dengan apa yang dibaca.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun