Hanya perkara bahasa? Bagi Pierre Bourdeau, bahasa harus dibawa ke ranah sosial. Lihat Orba. Sekadar contoh, untuk menancapkan kekuasaannya, wacana kemurnian Pancasila ditanamkan. Komunis sebagai penyeleweng dibungkam. Lanjut, Orba menganggap demokrasi terpimpin telah menjurus kepada pemujaan dan pengagungan seseorang. Di sinilah ironinya, menyebut Orla terpusat di tangan “Pemimpin Besar”, tapi Orba selama 32 tahun dipimpin satu orang juga.
Lalu berkaca pengalaman pemimpin sebelumnya, adanya reformasi hukum menjadi benar. Dahulu, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Aksi intoleran dari ormas-ormas tertentu masih juga terpentas dari waktu ke waktu. Arus pemikiran ini terus tersimpan dalam batok kepala masing-masing. Reputasi penegak hukum jatuh, di mata masyarakat bak buah simalakama.
Terkait reformasi hukum, perhatian utama tertuju kepada pelayanan publik. Oknum-oknum yang selama ini berladang di sentra-sentra tersebut mesti waspada. Jangan harap dapat berkelit, apalagi merengek untuk berlindung kepada atasan.
Kita pun masyarakat jangan lekas bertepuk tangan. Melenyapkan atau sekadar meredam pungli, praktik KKN, premanisme, aksi intoleransi, dan main hakim sendiri, perlu kiat yang mapan. Maka, budaya hukum ditegakkan. Artinya disiplin dan patuh. Tahan?
Mungkin orang akan trauma. Seperti biasa, masing-masing saling tunjuk hidung. Namun sebaliknya, kalau praktik KKN menurun sehingga kepercayaan publik meningkat, disebut buah reformasi hukum. Lalu para politisi menepuk dada sembari mengatasnamakan reformasi hukum supaya kekuasannya terlegitimasi.
Reformasi, dalam tiga peristiwa, adalah sebuah anomali, didamba juga dicibir. Ibarat kaki dan kaki meja. Mengikuti Verhaar, referen kata kaki tetap kaki sebagai anggota tubuh manusia. Kaki pada kata kaki meja hanya perbandingan untuk merujuk sesuatu, salah satu ciri kaki, yakni penopang berdirinya meja. Baginya, referen sebuah kata adalah tetap dan stabil. Kalau tidak, itu berarti metafora.
Untuk pembacaan radikal dekonstruksi, fenomena reformasi memang metafora. Makna reformasi menjadi tidak menentu. Bahasa bersifat licin dan ambigu, kata Jacques Derrida. Pemerintah melalui kepolisian melaksanakan OPP. Padahal yang melaksanakan OPP adalah personil kepolisian yang ada di TKP.
Lagi Jokowi mudah berkata kepada jajaran di bawahnya untuk memecat oknum yang terlibat. Tapi negara mempunyai hukum. Meskipun terbukti, oknum PNS hanya mungkin dimutasi atau ditunda kenaikan pangkatnya. Itu pun atas keyakinan hakim, bukan semata-mata atas perintah presiden.
Mengikuti Derrida, ini menjadi plesetan (defferal) dan ketidakmenentuan (undecidability) kepada masyarakat melihat reformasi hukum. Seperti yang telah disebutkan, andai kepercayaan masyarakat baik saling menepuk dada, berkah reformasi hukum. Namun sebaliknya gagal, malah saling tunjuk hidung.
Padahal, peristiwa yang membuat kita berpikir bahwa itu, misalnya OPP, adalah reformasi hukum sama sekali tidak bersangkutpaut. Bukan juga tangkap-menangkap oknum. Memang demikian, banyak tafsirnya. Di lain perspektif, reformasi hukum dapat berarti kepada kepatuhan masyarakat atau pemenjaraan orang yang berseberang.
Terlalu pagi memikirkan kemungkinan terburuk. Hanya pengandaian, tidak usah risau berlebihan. Kita hanya berharap para pejabat negeri bekerja sepenuh hati, tidak perlu membuat bahasa tendeng aling-aling kalau memang harus mengambang pada suatu hari seperti “Papa Minta Saham.” Nanti orang-orang saling berbisik, “Awas, ada hantu reformasi.”