Hujan batu haruslah menjadi hujan emas. Sepintas muncul haru saat metafora itu berdenging. Melalui tafsir yang umum dan sederhana kita menyadari kemuliaan sebuah bangsa. Tiada hal paling indah selain itu. Lalu,secara tidak sadar, sejarah masyarakat kita bagai tema sastra klasik:perjuangan, patriotik atau percintaan. Tidak selalu demikian memang.Â
Reformasi, misalnya. Mulanya kata ini terkesan suci dan agung sekali. Orang-orang sampai mendaku sebagai pejuang reformasi, senang bukan main disebut pejuang reformasi. Yang anti-reformasi harus merayap,berjalan diam-diam. Memang, sejauh mungkin harus menghindari embel-embel yang menyangkutkan Orde Baru. Muladi misalnya, saat fit and proper test sebagai calon Ketua Mahkamah Agung, menolak keras dirinya disebut Orde Baru.
Tapi ihwal perut kosong, fakta ini tidak dapat disampingkan apalagi dihalus-haluskan. Amin Rais, salah satu pejuang reformasi, misalnya. Gara-gara retorika politik, warga Pasuruan serempak menolak kedatangannya ke Pasuruan. Alasannya terdengar politis pula. Para reformis dirasa tidak menyentuh keseharian. Kemiskinan masih saja menggigit perut. Itu juga yang membuat pamor tokoh-tokoh reformis menurun.
Supremasi hukum pun demikian. Perjuangan untuk menuntaskan pelanggaran HAM menempuh jalan panjang dan berliku. Tragedi Semanggi, Pembunuhan Munir dan korban sipil Pasca G 30S/PKI masih mengambang tanpa ketuntasan. Penegakkan hukum memang menjadi soal tersendiri karena menyinggung rasa keadilan. Ada yang harus dikorbankan dan wajar kalau tidak semua mau menanggung itu. Mampus!
Lain di politik, lain pula di kamus. Apalagi dalam buku-buku pelajaran. Arti reformasi bisa beda. Tidak apa-apa. Perbedaan itu sah dan boleh dilakukan orang dengan semau-maunya. Reformasi memberi jaminan kepada kebebasan berpendapat. Tidak ada lagi sensor macam Menteri Penerangan semasa Orde Baru. Kita bebas berbicara dan berpendapat—meski beberapa waktu belakangan dahi mengernyit karena UU ITE.
Namun, apalah arti sebuah nama, kata William Shakespare. Kita berenang di atas reformasi, mencoba mendalaminya, tapi lupa naik ke permukaan. Agenda yang dijanjikan tidak kunjung tuntas. Malah, dari Habibie sampai Megawati, tiga kali negeri kita bertukar presiden. Â
Kalau menyebut itu eranya perebutan kekuasaan, agaknya dangkal. Rakyat terlalu sensitif dengan kata arogan semacam kekuasaan. Bukan tidak mungkin jika orang-orang yang anti-reformasi memanfaatkan celah. Apalagi politik selalu mengeksploitasi ketidaktahuan, keluguan dan kemarahan. Mereka yang dulu dibenci kini dicinta. Puenak jamanku toh?
Tapi pemerintah nampaknya tidak ambil pusing. Toh, bunga-bunga romantismenya tidak akan berkurang karena kritik dan tagih-menagih. Buktinya, kita memiliki KementerianPemberdayaan Aparatur Negaradan Reformasi Birokrasi (PANRB). Reformasi birokrasi. Tidak ada aksi atau pergerakkan mahasiswa yang melatarbelakanginya.Â
Jurus reformasi berlanjut. Baru-baru ini Presiden Jokowi mewacanakan reformasi hukum. Mata terbelalak sebab yang diserbu adalah institusi dan lembaga negara. Ditambah lagi terjunnya Jokowi dan Jenderal Tito kemedan tempur OPP di Kemenhub. Taji reformasi hukum keluar. Lebih radikal. Hadirnya presiden mempunyai makna baru, artinya reformasi tidak melulu ditandai oleh gejolak dan amuk-amuk dari akar rumput.Â
Sangking radikalnya, reformasi dapat menyasar siapa saja, tanpa pandang bulu. Tidak perlu kalkulasi harta gendut. Besaran uang tidak jadi masalah. Buktinya, duit yang diamankan sebagai barang bukti hanya terbilang sembilan digit. Itu normatif: barang dua ribu, lima puluh riburupiah, yang namanya pungli tetaplah pungli.
Jokowi mengajarkan kita, reformasi tidak melulu perkara elit politik yang dahulu tersandera dalam kekuasaan. Reformasi dapat memasyarakat jika bahasa itu awam dipakai. Pungli, bukan dengan leksem suap atau gratifikasi, merujuk pada sinonimnya dalam kamus korupsi. Punglilah bahasa yang sering dipakai oleh masyarakat dalam keseharian. Bahasa kelas rakyat.Â